ISLAM itu indah-----ISLAM itu sempurna dan ISLAM itu rahmatan lil 'alamin-----JANGAN Hanya menilai ISLAM dari pengikut / umatnya...!-----tapi Nilai lah ISLAM dari ajarannya...!-----Pelajarilah...!-----Jika Tidak Tahu Bertanyalah Pada Ahlinya-----maka anda akan mengetahui betapa menakjubkanya Islam bagi kehidupan manusia

(Ibnul Qoyyim rahimahullah[Ad-Daa' wa ad-Dawaa' 94])

“”

IMAM SYAFI'I MENUTURKAN :

Siapa yang tulus menjalin persaudaraan dengan sahabatnya maka ia akan menerima kesalahan-kesalahannya,, mengisi kekuranagnnya dan memaafkan ketregelincirannya".

RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda :

"Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". (HR. Muslim)

RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :

"Seorang Muslim Adalah Bersaudara, Janganlah Mendzolimi, Merendahkan Dan Janganlah Mengejeknya. (HR. Muslim)

RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :

"Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya baik di dunia maupun di akherat". (HR. Muslim)

Imam Syafi'i pernah berkata :

"Aku berangan-angan agar orang-orang mempelajari ilmuku ini dan mereka tidak menisbahkan sedikitpun ilmuku kepadaku selamanya, lalu akupun diberi ganjaran karenanya dan mereka tidak memujiku" (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 10/276)

Ibnul Qayyim (Al Fawaid 1/147)

el kanzu

Sabtu, 19 April 2025

Perintah Menjamu Tamu

Alhamdulillah 

Kajian Hadits Tematik
Judul : Memuliakan Tamu dalam Sunnah Nabawiyyah
Penulis: IslamWeb
Klasifikasi: Hadits Tematik (al-ḥadīts al-mawḍū‘ī)

Orang-orang Arab sebelum datangnya Islam sangat menjaga akhlak mulia seperti kejujuran, keberanian, dan perlindungan terhadap tetangga. Mereka saling berlomba-lomba dalam hal itu dan saling membanggakannya. Kehilangan sifat-sifat mulia itu mereka anggap sebagai aib yang memalukan bagi seorang laki-laki dan sulit dilupakan.

Kemudian datanglah Islam, dan Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia yang telah ada di tengah mereka dan menyucikannya. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik."
(HR. Aḥmad dan dishahihkan oleh al-Albānī)

Al-Munāwī dalam Mirqāt al-Mafātīḥ berkata:
“Al-Bayḍāwī berkata: Orang-orang Arab memiliki akhlak yang baik karena masih tersisa dari ajaran Nabi Ibrāhīm ‘alaihis salām. Namun mereka tersesat dari banyak bagian ajaran tersebut karena kekufuran. Maka diutuslah Nabi Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Di antara akhlak mulia yang baik itu adalah: memuliakan tamu (إكرام الضيف).

Dalam Sunnah Nabawiyah, terdapat sejumlah hadits yang memperhatikan topik memuliakan tamu, menjelaskan hak tamu atas tuan rumah, batasan hak tersebut, dan keutamaan yang diperoleh dari menunaikannya.

Contoh dari sunnah fi‘liyyah (perbuatan Nabi): Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai sosok yang memuliakan tamu bahkan sebelum diutus sebagai nabi. Ketika beliau kembali dalam keadaan takut dari Gua Ḥirā setelah pertemuannya dengan Jibrīl ‘alaihis salām, beliau berkata kepada Khadījah:

"Wahai Khadījah, ada apa denganku? Sungguh aku khawatir akan diriku.”
Lalu beliau menceritakan peristiwa itu kepada Khadījah, dan Khadījah berkata:
"Sekali-kali tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, jujur dalam ucapan, menanggung beban orang lain, memberikan kepada yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong dalam perkara-perkara kebenaran.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Al-Qasṭallānī dalam Irsyād al-Sārī menjelaskan:
"Wa tuqrī al-ḍayf" artinya: Engkau menyediakan makanan dan tempat tinggal untuk tamu.

Pentingnya Memuliakan Tamu (إكرام الضيف):

Tampak jelas betapa pentingnya memuliakan tamu dari berbagai sisi. Di antaranya:

1. Perintah Nabi dan Kaitan dengan Iman:
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk memuliakan tamu dan mengaitkannya langsung dengan iman kepada Allah dan hari akhir. Beliau bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya; barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

2. Tamu Memiliki Hak atas Tuan Rumah:
Dalam hadits dari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallāhu ‘anhumā, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya:
"Dan sesungguhnya tamumu memiliki hak atasmu."
(HR. al-Bukhārī)

Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ al-Bārī menjelaskan:
"Lazaurika" (لِزَوْرِكَ) dengan fathah pada huruf zāy, maksudnya: tamumu.

Juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Malam bagi tamu adalah hak atas setiap Muslim. Siapa pun yang pagi hari mendapati tamu di pekarangan rumahnya, maka itu menjadi tanggungan utang atasnya—jika ia mau ia tuntut, dan jika mau ia biarkan."
(HR. Abū Dāwūd; dishahihkan oleh al-Albānī)

Dan beliau juga bersabda:
"Jika kalian singgah di suatu kaum dan mereka memberikan apa yang patut untuk seorang tamu, maka terimalah. Jika mereka tidak memberikan, maka ambillah dari mereka hak tamu yang seharusnya kalian dapatkan."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

3. Banyaknya Keutamaan dalam Sunnah:
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, adanya banyak keutamaan dan pahala yang disebutkan dalam hadits-hadits tentang memuliakan tamu menunjukkan pentingnya amalan ini tanpa keraguan.


Keutamaan Memuliakan Tamu (فضل إكرام الضيف):

Sesungguhnya akhlak mulia—termasuk memuliakan tamu—adalah sebab datangnya berbagai kebaikan dan keutamaan. Dengannya, seseorang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan juga kebaikan di akhirat jika ia mengharap pahala dari Allah. Di antara keutamaan yang diperoleh dari memuliakan tamu:

1. Mendapat Taufik dan Terhindar dari Kehinaan:
Dalam hadits ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, disebutkan bahwa Khadījah menenangkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan bersumpah bahwa Allah tidak akan menghinakannya karena akhlaknya yang mulia—di antaranya memuliakan tamu. Khadijah berkata:
"Tidak, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau menyambung silaturahmi, berkata jujur, memikul beban orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam perkara kebenaran."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

2. Salah Satu Sebab Masuk Surga:
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Wahai sekalian manusia! Sebarkan salam, berilah makan (kepada orang lain), dan shalatlah saat orang-orang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat."
(HR. at-Tirmiżī, Ibn Mājah; dishahihkan oleh al-Albānī)

3. Mendapat Kenikmatan Khusus di Surga:
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luarnya, dan luarnya terlihat dari dalamnya."
Seorang Arab Badui bertanya: "Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?"
Beliau menjawab:
"Untuk orang yang perkataannya baik, memberi makan (kepada orang lain), dan shalat karena Allah di malam hari saat orang-orang tidur."
(HR. Ahmad; dihasankan oleh al-Arnā’ūṭ)

4. Memuliakan tamu adalah amal yang dicintai Allah.

Hal ini ditunjukkan dalam kisah menakjubkan yang disebutkan dalam hadits, bahwa Allah terheran-heran (atau tertawa) terhadap perbuatan sepasang suami istri yang memuliakan tamunya dengan penuh pengorbanan.

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
Seorang lelaki datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu beliau mengutus seseorang ke rumah-rumah istrinya untuk mencari makanan. Para istri Nabi mengatakan: "Kami tidak memiliki apa-apa selain air."
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Siapa yang mau menjamu tamu ini?"
Seorang lelaki dari Anshār berkata: "Saya."
Lalu ia membawa tamu itu ke rumahnya dan berkata kepada istrinya:
"Muliakanlah tamu Rasulullah صلى الله عليه وسلم."
Sang istri menjawab: "Kita hanya memiliki makanan untuk anak-anak kita."
Ia pun berkata: "Siapkanlah makananmu, nyalakan lampumu, dan tidurkan anak-anakmu jika mereka meminta makan."
Lalu ia menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anak mereka.
Kemudian ia berdiri seolah-olah sedang memperbaiki lampu, lalu memadamkannya.
Mereka pun duduk bersama tamunya, seolah-olah mereka ikut makan bersamanya, padahal keduanya menahan lapar semalaman.

Keesokan paginya, lelaki itu mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu beliau bersabda:
“Allah tertawa (atau kagum) terhadap perbuatan kalian berdua malam tadi.”
Kemudian turunlah ayat:

﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾
"Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan."
(QS. Al-Ḥasyr: 9)
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Catatan makna:

“أصبحي سراجك” maksudnya: nyalakan lampumu.

“فباتا طاويين” artinya: mereka tidur dalam keadaan lapar, tidak makan malam.
(Ibnu Ḥajar – Fatḥ al-Bārī)


Catatan penting:
Meskipun memuliakan tamu adalah akhlak yang sangat mulia, pahala akhirat tidak akan diperoleh kecuali jika pelakunya adalah seorang Muslim.
‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata:
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, Ibn Jud‘ān di masa jahiliah suka menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin. Apakah itu bermanfaat baginya?"
Beliau menjawab:
“Tidak bermanfaat baginya, karena ia tidak pernah mengatakan: ‘Ya Rabb, ampunilah dosaku di Hari Pembalasan.’”
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain: "Ia membebaskan tawanan dan memuliakan tamu." — namun tetap tidak bermanfaat karena ia tidak beriman kepada Allah.

Diantara Adab dan Hukum Memuliakan Tamu

Dalam sunnah Nabi terdapat banyak adab dan hukum yang perlu diperhatikan ketika memuliakan tamu. Di antaranya adalah:

1. Hak tamu dalam jamuan adalah tiga hari, dan jika lebih dari itu maka termasuk sedekah dari tuan rumah.

Dari Abū Syarīḥ al-‘Adawī radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya dengan jaizah-nya."
Ada yang bertanya: “Apa itu jaizah wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
"Sehari semalam, dan jamuan untuk tamu adalah tiga hari. Selebihnya adalah sedekah atasnya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Al-Khaṭṭābī rahimahullāh berkata dalam A‘lām al-Ḥadīth:
Makna sabda beliau: "Jaizatuhu yauman wa laylah" (Jaizahnya sehari semalam), maksudnya: tuan rumah berusaha memberikan yang terbaik kepada tamunya selama sehari semalam, menjamunya dan memberikan perhatian khusus melebihi hari-hari lainnya.
Adapun dua hari berikutnya, cukup diberikan apa yang tersedia, tanpa berlebihan. Maka setelah tiga hari, habislah hak tamu, dan jika tuan rumah menjamunya lebih dari itu, maka ia mendapatkan pahala sedekah.

---

2. Tuan rumah tidak perlu memaksakan diri menjamu tamu dengan sesuatu yang tidak ia miliki.

Dari Salmān al-Fārisi radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki datang menemuinya, lalu ia menjamunya dengan apa yang ia miliki.
Kemudian ia berkata:

"Sekiranya bukan karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kami, atau sekiranya kami tidak dilarang, untuk saling memberatkan diri dalam menjamu tamu, tentu kami akan mencarikan yang lebih baik untukmu."
(HR. Aḥmad – dinilai kuat oleh al-Albānī karena penguat-penguatnya)

Al-Hafizh Ibn Rajab dalam Jāmi' al-‘Ulūm wa al-Ḥikam berkata:
"Ini menunjukkan bahwa tidak wajib bagi tuan rumah untuk memberikan sesuatu yang berlebihan untuk tamu kecuali dengan apa yang dimiliki. Jika ia tidak memiliki lebih, maka tidak ada kewajiban apa pun. Adapun jika ia mengutamakan tamunya seperti yang dilakukan oleh seorang Anṣārī yang disebutkan dalam ayat {ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة}, maka itu adalah suatu kedudukan yang mulia dan kebaikan, bukanlah sesuatu yang wajib."

Al-Nawawi dalam Sharḥ Muslim beliau berkata:
"Sejumlah salaf membenci memaksakan diri untuk menjamu tamu, dan ini dimaknai untuk situasi yang memberikan beban berat bagi tuan rumah, karena hal itu dapat menghalangi keikhlasan dan kebahagiaan yang sempurna terhadap tamu. Bisa jadi ada sesuatu yang dilakukan oleh tuan rumah yang menunjukkan bahwa ia sedang memaksakan diri untuk tamu, dan hal ini bisa membuat tamu merasa tidak nyaman atau kasihan terhadapnya. Semua ini bertentangan dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: 'Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya,' karena cara memuliakan yang terbaik adalah dengan membuat tamu merasa nyaman dan menunjukkan kebahagiaan kepadanya."
"Tidak termasuk dalam memuliakan tamu apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa pencitraan atau pemborosan, yang dilakukan hanya untuk pamer dan riya kepada orang lain, serta mencari popularitas. Padahal, semua hadits menunjukkan bahwa memuliakan tamu adalah ibadah yang mengharap wajah Allah, bahkan bagian dari iman yang diperintahkan oleh Islam. Bagaimana mungkin suatu amalan yang merupakan bentuk ibadah bisa berubah menjadi dosa karena pemborosan dan riya yang bertentangan dengan prinsip ibadah."

3. Menyiapkan Rumah untuk Menyambut Tamu jika Mereka Datang

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Satu tempat tidur untuk suami, satu untuk istri, yang ketiga untuk tamu, dan yang keempat untuk setan."
(HR. Muslim)
Al-Qurṭubī dalam al-Mufhim berkata:
"Adapun tempat tidur untuk tamu, maka tuan rumah harus mempersiapkannya, karena itu bagian dari memuliakan tamu dan menjalankan haknya."

4. Melayani Tamu dengan Tangan Sendiri

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata:
"Abu Asīd al-Sā’idī mengundang Nabi صلى الله عليه وسلم ke acara pernikahannya, dan pada waktu itu istrinya adalah seorang pembantu mereka, meskipun dia adalah pengantin wanita."
(HR. al-Bukhārī dalam al-Adab al-Mufrad, dan disahihkan oleh al-Albānī)


Wasiat Qais bin Khafāf bin ‘Amr kepada putranya Jubayl:

> أَجُبَيْلُ إِنَّ أَبَاكَ كَارِمُ يَوْمِهِ # فَإِذَا دُعِيتَ إِلَى الْمَكَارِمِ فَاعْجَلِ
"Wahai Jubayl, sungguh ayahmu senantiasa memuliakan harinya,
maka jika engkau diajak kepada kemuliaan, segeralah menyambutnya."

> أُوصِيكَ إِيْصَاءَ امْرِئٍ لَكَ نَاصِحٍ # ظَنَّ بَغِيَّهُ الدَّهْرَ غَيْرَ مُعَقَّلِ
"Aku menasihatimu seperti orang tulus memberi wasiat,
yang menyangka zaman akan selalu bengkok dan tak terkendali."

> اللَّهَ فَاتَّقِهِ وَأَوْفِ بِنَذْرِهِ # وَإِذَا حَلَفْتَ مُمارِيًا فَتَحَلَّلِ
"Bertakwalah kepada Allah dan penuhilah nadzarmu,
dan jika engkau bersumpah dalam perdebatan, maka carilah jalan keluar darinya."

> وَالضَّيْفَ تُكْرِمْهُ فَإِنَّ مَبِيتَهُ # حَقٌّ وَلَا تَكُ لَعْنَةً لِلنُّزُلِ
"Dan muliakanlah tamumu, karena menginapkannya adalah hak,
dan janganlah engkau menjadi kutukan bagi para tamu yang datang."

> وَاعْلَمْ بِأَنَّ الضَّيْفَ مُخْبِرُ أَهْلِهِ # بِمَبِيتِ لَيْلَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُسْأَلِ
"Ketahuilah bahwa tamu pasti akan memberitahu keluarganya
tentang malam yang ia lalui, walaupun tidak ditanya."

---

Kisah Syair Qais bin ‘Āṣim:

Suatu ketika Qais menikahi seorang wanita, lalu istrinya menyuguhkan makanan kepadanya. Ia pun berkata:
"Di mana teman makanku?"
Namun istrinya tak paham maksudnya, *lalu ia menggubah bait syair:*

 إِذَا مَا صَنَعْتِ الزَّادَ فَالْتَمِسِي لَهُ # أَكِيلًا فَإِنِّي لَسْتُ آكُلُهُ وَحْدِي
"Jika engkau menyiapkan makanan, maka carilah teman makan,
karena aku tak akan memakannya sendirian."

 أَخًا طَارِقًا أَوْ جَارَ بَيْتٍ فَإِنَّنِي # أَخَافُ مَلَامَاتِ الْأَحَادِيثِ مِنْ بَعْدِي
"Entah saudara yang datang berkunjung atau tetangga rumah,
karena aku takut celaan dan cerita buruk setelahku."

 وَإِنِّي لَعَبْدُ الضَّيْفِ مِنْ غَيْرِ ذِلَّةٍ # وَمَا فِيَّ إِلَّا ذَاكَ مِنْ شِيمَةِ الْعَبْدِ
"Aku adalah pelayan tamu tanpa rasa hina,
dan dalam diriku hanya ada sifat mulia dari seorang pelayan tamu."

Tetangganya yang pelit mendengar syair itu dan menjawab:

 لَبَيْنِي وَبَيْنَ الْمَرْءِ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ # بِمَا قَالَ بَوْنٌ فِي الْفِعَالِ بَعِيدُ
"Antara aku dan Qais bin ‘Āṣim,
terdapat jarak yang sangat jauh dalam perbuatan sebagaimana ia ucapkan."

 وَإِنَّا لَنَجْفُو الضَّيْفَ مِنْ غَيْرِ قِلَّةٍ # مَخَافَةَ أَنْ يُغْرَى بِنَا فَيَعُودُ
"Kami enggan menjamu tamu bukan karena kekurangan,
tetapi takut mereka senang dan datang kembali."

Wallāhu a‘lam.


Referensi:
Diterjemahkan dari : 
•https://www.islamweb.net/ar/article/220939/
•https://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=230934
Partnership : App Chatgpt


✍🏼MHA El kanzu
🏡 Suco & Nangkas - Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 08:50 WIB
📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M






Olahraga Jalan Kaki

Pertanyaan:
Apakah terdapat dalam sunnah nabawiyyah suatu hadits dari Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam atau ucapan dari para sahabat yang secara khusus membahas berjalan kaki sebagai olahraga?
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban:

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullāh, keluarga dan para sahabat beliau. Ammā ba'du:

Tidak terdapat—sejauh penelusuran kami terhadap kitab-kitab hadits, sejarah, dan sirah—ucapan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat secara khusus mengenai berjalan kaki sebagai olahraga.

Namun, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah berlomba lari dengan ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, lalu ‘Āisyah mengalahkannya. Kemudian, pada kesempatan lain, beliau berlomba lagi dengannya dan beliau yang menang, lalu bersabda: "Ini sebagai balasan dari yang tadi."
Hal ini terjadi ketika ‘Āisyah telah bertambah berat badannya karena daging, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahmad dalam Musnad-nya dan Ibn Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya, dan dinilai sahih oleh Al-Albānī.

Juga disebutkan bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, jika berjalan, beliau condong ke depan dengan semangat, dan beliau adalah orang yang paling cepat dan paling bagus jalannya. ‘Alī radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam berjalan, seolah-olah beliau turun dari tempat yang tinggi.”

Ibn al-Qayyim rahimahullāh berkata:
Itu adalah cara berjalan yang paling seimbang, paling nyaman bagi tubuh, dan paling jauh dari cara berjalan yang sembrono, lemah, atau terlalu dibuat-buat.”

Dalam hadits sahih dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā disebutkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berjalan cepat (berlari kecil) sebanyak tiga putaran saat thawaf, dan “al-khabb” adalah jenis berjalan dengan kecepatan lebih.

Adapun riwayat yang dinisbatkan kepada ‘Alī radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau memerintahkan berjalan kaki setelah makan malam, maka yang benar itu adalah ucapan al-Ḥārith ibn Kaladah, seorang tabib Arab. Hal ini dinukil oleh al-Ghazālī dalam Iḥyā’ dari sebagian ahli pengobatan, dan disebutkan oleh al-Ya‘qūbī dalam Adab al-Adab dengan syair:

واجتنب المنام قبل تمشى مائة خطوة إذا تعشى
"Hindarilah tidur sebelum engkau berjalan seratus langkah setelah makan malam."

Dalam riwayat ‘Abdur Razzāq, disebutkan bahwa ‘Umar pernah berlomba lari dengan orang-orang di suatu tempat bernama al-Mukhmaṣ dekat ‘Asfān, lalu ‘Umar yang menang. Kemudian dia mengulanginya, dan Ibnu az-Zubair mengalahkannya. Peristiwa ini juga disebutkan oleh ‘Alā’uddin dalam Kanz al-‘Ummāl dan oleh al-Bayhaqī dalam as-Sunan.

Dalam Ṣaḥīḥ Muslim, disebutkan bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Salamah ibn al-Akwa‘ untuk berlomba lari dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar dalam perjalanan pulang dari suatu peperangan menuju Madinah, lalu Salamah yang menang.

Dalam Fatḥ al-Bārī, terdapat hadits dari Ibnu ‘Umar secara marfū‘ bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Berpergianlah kalian, niscaya kalian akan sehat."
Ibnu Ḥajar menjelaskan bahwa maksudnya adalah karena di dalam safar terdapat unsur olahraga (riyāḍah).

Para dokter juga menyebutkan bahwa berjalan kaki itu menyehatkan tubuh, menguatkan, dan membantu proses metabolisme, serta termasuk hal yang menjaga kesehatan adalah sedikit membuat tubuh lelah.

Semua ini memperkuat apa yang telah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama.

Wallāhu a‘lam.

Referensi:
Diterjemahkan dari : 
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/6428
Partnership : App Chatgpt

✍🏼MHA El kanzu
🏡 Suco - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 08:50 WIB
📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M




Jalan Tanpa Alas Kaki (kaki ayam / nyeker)

Pertanyaan:

هل المشي حافياً سُنَّة؟

Apakah berjalan tanpa alas kaki termasuk sunnah?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah.

Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dalam as-Sunan (no. 4160), dan oleh Ahmad dalam al-Musnad (no. 23969), dari 'Abdullāh bin Buraydah, bahwa:

Seorang laki-laki dari sahabat Nabi AE Shallallāhu 'alaihi wa sallam melakukan perjalanan menuju Fadālah bin 'Ubayd yang saat itu berada di Mesir. Lalu ia menemuinya, dan berkata: “Sungguh aku datang kepadamu bukan sebagai seorang yang ingin berkunjung (biasa), tetapi karena aku dan engkau telah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya.” Fadālah bertanya: “Hadits apa itu?.

Lalu ia pun menyebutkan hadits itu (isi hadits tidak disebut secara rinci di sini). Kemudian ia berkata lagi: “Mengapa aku melihatmu tampak kusut, padahal engkau adalah pemimpin (amir) negeri ini?”

Fadālah menjawab:

 إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الإِرْفَاهِ .

  “Sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari banyak bentuk kemewahan (irfāh).”

Ia bertanya lagi: “Kenapa aku tidak melihat engkau memakai alas kaki?

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا

Maka Fadālah menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallāhu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami agar sesekali berjalan tanpa alas kaki (berkaki ayam).”

Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāni dalam Ṣaḥīḥ Abī Dāwūd.


Penjelasan:

Ibnul Atsīr berkata dalam an-Nihāyah (2/247):

> Kata "الإِرْفَاهِ" (al-irfāh) maksudnya adalah terlalu banyak meminyaki (tubuh) dan hidup mewah. Ada pula yang mengatakan: memperluas diri dalam hal minuman dan makanan. Kata ini berasal dari “الرفه” yaitu air yang didatangi unta kapan saja ia mau—yakni hidup dalam kenyamanan dan kemewahan tanpa batas.

Maksudnya adalah: meninggalkan sikap memanjakan diri, bersantai-santai, dan hidup serba nyaman; karena itu termasuk gaya hidup bangsa 'ajam (non-Arab) dan orang-orang duniawi.

Sabda Nabi:

 “كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا”

Maknanya: beliau memerintahkan agar kadang-kadang kita berjalan tanpa alas kaki.

Sebagian ulama menyatakan bahwa dianjurkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.

Hikmahnya:

• Melatih diri untuk hidup keras dan sederhana

• Menghindarkan dari sikap santai berlebihan

• Membiasakan diri dengan kezuhudan dan tidak tertarik pada kemewahan dunia


al-Qārī rahimahullāh berkata dalam Mirqāt al-Mafātīḥ (7/2827):

“(نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا): maksudnya adalah kami berjalan tanpa alas kaki, sebagai bentuk tawadhu’, merendahkan jiwa, dan agar seseorang terbiasa jika suatu saat harus melakukannya dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, diperintahkan hanya sesekali (أحيانًا), bukan terus-menerus.”


Ibnu ‘Abdil Qawī rahimahullāh berkata dalam syairnya (dalam Manzhūmah):

 وَسِرْ حَافِيًا أَوْ حَاذِيًا وَامْشِ وَارْكَبَنْ

تَمَعْدَدْ وَاِخْشَوْشِنْ وَلَا تَتَعَوَّدِ

"Berjalanlah engkau tanpa alas kaki atau dengan alas kaki, berjalanlah atau berkendaralah.

Biasakan hidup sederhana dan keras, dan jangan membiasakan diri hidup manja."


Imam as-Saffārīnī rahimahullāh berkata:

"(وَسِرْ) dalam keadaan engkau (حَافِيًا) tanpa alas kaki, sesekali, sebagai bentuk meneladani Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. (أَوْ) berjalanlah dalam keadaan (حَاذِيًا) yaitu memakai alas kaki.”

(Selesai dari Ghidhā’ al-Albāb, 2/340)

---

Syaikh Ibn ‘Utsaimīn rahimahullāh berkata:

> *“Memakai sandal (alas kaki) termasuk sunnah, dan berjalan tanpa alas kaki pun termasuk sunnah. Oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang dari terlalu banyak bermewah-mewahan (الإرفاه), dan beliau memerintahkan agar sesekali berjalan tanpa alas kaki.

Maka sunnahnya adalah seseorang memakai alas kaki—tidak mengapa—tetapi sebaiknya juga sesekali berjalan tanpa alas kaki di tengah-tengah manusia, agar tampak sunnah ini, yang kadang-kadang justru dicela oleh sebagian orang. Jika mereka melihat seseorang berjalan tanpa alas kaki, mereka berkata: 'Apa ini? Orang ini orang bodoh!' Padahal ini keliru. Karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu banyak bermewah-mewahan, dan memerintahkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.”*

(Selesai dari Syarḥ Riyāḍ aṣ-Ṣāliḥīn, 6/387)


Kesimpulannya:

Disunnahkan bagi seseorang untuk berjalan tanpa alas kaki sesekali, selama tidak menimbulkan bahaya atau mudarat.

---

al-Munāwī rahimahullāh berkata:

> *“Jika seseorang aman dari najis yang bisa mengenainya—seperti berjalan di atas tanah berpasir, dan tidak membahayakannya—maka hal itu dianjurkan (mustahabb) sesekali, yakni berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya adalah untuk merendahkan diri dan mendidik jiwa.

Oleh karena itu disebutkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan baik dengan alas kaki maupun tanpa alas kaki, dan para sahabat juga biasa berjalan dengan atau tanpa alas kaki.”*

(Selesai dari Fayḍ al-Qadīr, 1/317)

---

Syaikh ‘Abdul Muḥsin al-‘Abbād ḥafiẓahullāh berkata:

> *“Jika kondisi tanah menuntut seseorang untuk memakai alas kaki, maka hendaknya ia memakai alas kaki. Misalnya jika tanah tersebut mengandung pecahan kaca, besi, bebatuan tajam, duri, atau panas terik karena matahari—maka hendaknya ia memakai pelindung yang telah Allah karuniakan kepadanya, yaitu dengan menggunakan alas kaki.

Namun, sesekali tidak memakai alas kaki—itulah yang disebutkan dalam hadits dari Faḍālah bin ‘Ubayd dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kami untuk sesekali berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya agar tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan dan kenyamanan, serta agar terbiasa dengan sedikit kekasaran dan kesederhanaan. Tapi hal ini bukan dilakukan secara terus-menerus, melainkan hanya dilakukan sesekali.”

(Selesai dari Syarḥ Sunan Abī Dāwūd, 23/273; versi al-Maktabah asy-Syāmilah)


Ringkasan Jawaban:

Kesimpulannya: berjalan tanpa alas kaki sesekali adalah bagian dari sunnah, namun hal ini dibatasi dengan syarat tidak menimbulkan ketenaran yang tercela bagi orang yang melakukannya di suatu daerah.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa jika seseorang adalah panutan di negerinya dan dikenal sebagai orang berilmu, maka boleh baginya berjalan tanpa alas kaki di hadapan manusia, karena mereka akan mengetahui bahwa hal itu termasuk sunnah.

Adapun jika seseorang bukan termasuk orang semacam itu, dan dikhawatirkan akan menjadi bahan cibiran orang-orang, maka cukup baginya melakukannya di rumah, atau di tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang awam.

والله تعالى أعلم (Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.)


Referensi:

Diterjemahkan dari : https://islamqa.info/ar/answers/235106/

Partnership : App Chatgpt

✍🏼MHA El kanzu

🏡 Suco - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩

⌚ 08:10WIB

📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M


Senin, 14 April 2025

Suara Burung Bulbul (صوت صفير البلبل الخليفة)

"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul" (Suara Burung Bulbul)

Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, ingin membatasi pemberian hadiah kepada para penyair. Ia dikenal sebagai seseorang yang bisa menghafal syair hanya dari sekali mendengarnya. Ia juga memiliki seorang pelayan laki-laki (ghulām) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya dua kali, dan seorang pelayan perempuan (jāriyah) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya tiga kali.

Maka, para penyair menyusun syair-syair panjang, mengarangnya selama satu malam, dua malam, bahkan tiga malam. Setelah selesai, mereka pun mempersembahkannya kepada khalifah. Namun ketika mereka membacakannya, khalifah akan berkata kepada mereka:

“Aku telah mendengar syair ini sebelumnya.”

“Jika itu adalah karanganmu sendiri, maka engkau akan diberi imbalan emas seberat tulisan syair itu. Namun jika itu adalah hasil kutipan dari orang lain, maka kami tidak akan memberimu apa pun.” 

Maka sang penyair pun membacakan syairnya kepada khalifah, dan khalifah langsung menghafalnya dari pertama kali mendengarnya. Lalu khalifah berkata, “Aku telah menghafalnya sejak lama.”

Kemudian khalifah membacakannya kembali, dan memanggil seorang pelayan laki-laki yang juga hafal syair itu, dan ia pun membacakannya secara lengkap. Lalu dipanggillah seorang gadis pelayan yang mendengarkan syair itu sebanyak tiga kali, dan ia pun mampu mengulanginya secara lengkap.

Sang penyair pun mulai ragu terhadap dirinya sendiri dan berpikir, “Mungkinkah aku hanya mengutip syair ini dari orang lain tanpa sadar?” Demikian pula yang terjadi pada semua penyair lainnya. Akhirnya mereka semua merasa depresi.



Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah Al-Aṣmaʿī kepada mereka. Maka mereka pun mengadu padanya tentang apa yang terjadi. Mereka berkata, “Kami bersusah payah menyusun syair semalaman dengan pikiran dan tenaga sendiri, tapi ternyata ada tiga orang yang sudah hafal sebelum kami menyampaikannya!”

Lalu Al-Aṣmaʿī berkata, “Apakah benar kejadian ini?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Ia bertanya, “Di mana?”

Mereka menjawab, “Di istana Amirul Mu’minin.”

Maka ia berkata, “Serahkan urusan ini padaku.”

Al-Aṣmaʿī pun menyusun sebuah syair yang penuh dengan keragaman tema dan gaya, lalu ia menyamar sebagai seorang badui dan datang menghadap khalifah untuk membacakan syairnya.

Khalifah pun berkata, “Apakah kamu tahu syaratnya?”

 Ia menjawab, “Ya.”

Khalifah berkata, “Sampaikan syairmu!” Maka ia pun membacanya…

صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ

هَيَّجَ قَلْبِي الثَّمِلِ

Suara kicauan burung bulbul,

Telah menggugah hatiku yang mabuk cinta.

الْمَاءُ وَالزَّهْرُ مَعًا

مَعَ زَهْرِ لَحْظِ الْمُقَلِّ

Air dan bunga bersatu indahnya,

Bersama pandangan mata si jelita nan memesona.

وَأَنْتَ يَا سَيِّدَ لِي

وَسَيِّدِي وَمَوْلِيَ لِي

Dan engkaulah tuanku,

Tuanku dan juga kekasihku.

فَكَمْ فَكَمْ تَيَّمَنِي

غُزَيْلٌ عَقِيقَلِي

Betapa seringnya membuatku tergila-gila,

Seekor rusa mungil nan manis bagai akik merah.

قَطَّفْتُهُ مِنْ وَجْنَةٍ

مِنْ لَثْمِ وَرْدِ الْخَجَلِ

Kupetik ia dari pipi merah merona,

Seperti mencium bunga malu-malu.

فَقَالَ لَا لَا لَا لَا لَا

وَقَدْ غَدَا مُهَرْوِلِي

Ia pun berkata: “Tidak, tidak, tidak, tidak!”,

Namun malah berlari mendekatiku.

وَالْخُوذُ مَالَتْ طَرَبًا

مِنْ فِعْلِ هٰذَا الرَّجُلِ

Dan helm-helm pun condong karena gembira,

Melihat perbuatan lelaki ini yang luar biasa.

فَوَلْوَلَتْ وَوَلْوَلَتْ

وَلِي وَلِي يَا وَيْلَلِي

Mereka pun berteriak dan merintih pilu,

“Aduh, celaka! Wahai malangnya aku!”

فَقُلْتُ لَا تُوَلْوِلِي

وَبِينِي اللُّؤْلُؤَ لِي

Lalu aku berkata, “Janganlah merintih begitu,

Berikan saja mutiara (kata manis) itu kepadaku.”

قَالَتْ لَهُ حِينَ كَذَا

اِنْهَضْ وَجُدْ بِالنُّقَلِ

Dia pun berkata padanya saat itu juga,

“Berdirilah dan berilah permen manis sebagai hadiah.”

وَفِتْيَةٍ سَقَوْنَنِي

قَهْوَةً كَالْعَسَلِلِي

Dan para pemuda pun menyuguhiku,

Kopi manis laksana madu.

شَمَمْتُهَا بِأَنْفِي

أَزْكَى مِنَ الْقُرَنْفُلِ

Kuhirup dengan hidungku aromanya yang harum,

Lebih wangi dari bunga cengkeh yang semerbak.

فِي وَسَطِ بُسْتَانٍ حُلِي

بِالزَّهْرِ وَالسُّرُورِ لِي

Di tengah kebun yang indah permai,

Penuh bunga dan kebahagiaan yang membuat hati damai.

وَالْعُودُ دَنْدَنَ دَنَا لِي

وَالطَّبْلُ طَبْطَبَ طَبَّ لِي

Alat musik ‘ūd berdendang mendekatiku,

Dan genderang berdetak-detak menemaniku.

طَبْ طَبْطَبْ طَبْ طَبْطَبْ

طَبْ طَبْطَبْ طَبْطَبْ طَبْ لِي

“Tab-tabtab, tab-tabtab,”

Tabuhan riang yang mengiringiku.

وَالسَّقْفُ سَقْ سَقْ سَقْ لِي

وَالرَّقْصُ قَدْ طَابَ إِلَيَّ

Langit-langit pun ikut berderak, “sak-sak-sak”,

Dan tarian menjadi semakin menggembirakan.

شَوَى شَوَى وَشَاهِشْ

عَلَى وَرَقِ سِفْرَجَلِ

Dendangan “shawā shawā wa shāhish” pun terdengar,

Di atas daun pohon quince yang lebar.

وَغَرَّدَ الْقُمْرِيُّ يَصِيحُ

مَلَلْ فِي مَلَلِلِ

Burung tekukur pun berkicau lantang,

“Bosaaaan… bosan yang panjang.”

وَلَوْ تَرَانِي رَاكِبًا

عَلَى حِمَارٍ أَهْزَلِ

Andaikan kau lihat aku menaiki,

Seekor keledai kurus yang letih sekali.

يَمْشِي عَلَى ثَلَاثَةٍ

كَمِشْيَةِ الْعَرَنْجَلِي

Berjalan dengan tiga kaki,

Seperti gaya jalannya orang berpenyakit aneh sekali.

---

وَالنَّاسُ تَرْجُمُ جَمَلِي

فِي السُّوقِ بِالْقُلْقُلِلِي

Orang-orang melempar unta milikku,

Di pasar ramai dengan bunyi gaduh bertalu-talu.

وَالْكُلُّ كَعْكَعْ كَعِكَعْ

خَلْفِي وَمِنْ حُوَيْلَلِي

Dan semua orang ribut berisik di belakangku,

Juga di sekeliling kanan dan kiriku.

لَكِنْ مَشَيْتُ هَارِبًا

مِنْ خَشْيَةِ الْعَقْنَقَلِي

Tapi aku pun lari terbirit-birit,

Karena takut pada “al-‘aqnaqali” yang mengancam seperti petir.

إِلَى لِقَاءِ مَلِكٍ

مُعَظَّمٍ مُبَجَّلِ

Menuju pertemuan dengan seorang raja,

Yang agung dan sangat mulia.

يَأْمُرُ لِي بِخِلْعَةٍ

حَمْرَاءَ كَالْدَّمْ دَمَلِي

Ia pun memerintah agar aku diberi pakaian kehormatan,

Berwarna merah laksana darah mengalir dalam kehidupan.

أَجُرُّ فِيهَا مَاشِيًا

مُبَغْدِدًا لِلذَّيْلِلِي

Aku berjalan menjuntaikan ujung jubah itu dengan gagah,

Berlenggak-lenggok penuh wibawa dan indah.

أَنَا الْأَدِيبُ الْأَلْمَعِي

مِنْ حَيِّ أَرْضِ الْمَوْصِلِ

Akulah sastrawan yang brilian nan cemerlang,

Dari kampung halaman di tanah Mosul yang tenang.

نَظَمْتُ قِطْعًا زُخْرِفَتْ

يَعْجِزُ عَنْهَا الْأَدْبُلِي

Telah kususun bait-bait berhias indah menawan,

Sampai sastrawan terbaik pun tak mampu menyamai keindahan.

أَقُولُ فِي مَطْلَعِهَا

صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ

Kubuka bait ini dengan ucapan penuh seni:

*"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbulī" — Suara kicau

an burung bulbul yang berseri.


Saat itu Amirul Mukminin pun terkejut dan kebingungan.

Ia berkata, “Wahai ghulām, wahai jāriyah!”

Keduanya menjawab, “Kami belum pernah mendengar bait-bait ini sebelumnya, wahai Tuanku.”

Maka sang khalifah berkata, “Tunjukkan tempat engkau menuliskan syair ini, agar kami timbang dan kami berikan emas seberat itu.”

Sang penyair menjawab, “Aku mewarisi sebatang tiang marmer dari ayahku, dan aku telah menulis syair ini di atasnya. Tiang itu kini berada di atas punggung untaku. Tak akan mampu mengangkatnya kecuali sepuluh prajurit.”

Lalu mereka membawanya, dan benar—tiang marmer itu ditimbang, dan seluruh beratnya dibayar dengan emas.

Maka sang wazir pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku yakin bahwa orang ini tak lain adalah al-Aṣma‘ī.”

Sang khalifah pun berkata, “Bukalah cadarmu, wahai orang Arab dusun!”

Lalu ia membuka penutup wajahnya, dan ternyata benar—ia adalah al-Aṣma‘ī.


Khalifah pun berkata, “Apakah kau mempermainkan Amirul Mukminin seperti ini, wahai al-Aṣma‘ī?”

Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah memutus rezeki para penyair dengan caramu ini.”

Khalifah berkata, “Kembalikanlah emas itu, wahai al-Aṣma‘ī.”

Al-Aṣma‘ī menjawab, “Aku tidak akan mengembalikannya.”

Khalifah kembali berkata, “Kembalikanlah.”

Al-Aṣma‘ī menjawab, “Dengan satu syarat.”

Khalifah bertanya, “Apa itu?”

Al-Aṣma‘ī menjawab, “Agar engkau memberikan hak kepada para penyair atas apa yang mereka karang maupun yang mereka kutip.”

Khalifah pun berkata, “Engkau mendapatkan apa yang engkau minta.”


Kisah ini menunjukkan kecerdikan al-Aṣma‘ī dan hikmah di baliknya: bahwa karya sastra, baik ciptaan orisinal maupun kutipan, layak dihargai. 

__________________________________________

Berikut biografi singkat tentang Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan al-Aṣma‘ī:

1. Abu Ja‘far al-Manshūr (أبو جعفر المنصور)

Nama lengkap: ʿAbdullāh ibn Muḥammad ibn ʿAlī ibn ʿAbdillāh

Gelar: Abu Ja‘far al-Manshūr

Lahir: Tahun 95 H / 714 M

Wafat: Tahun 158 H / 775 M

Kekhalifahan: 136–158 H / 754–775 M

Dinasti: Bani Abbasiyah (Khalifah kedua setelah As-Saffah)


Keistimewaan dan peran:


Pendiri sejati kekhalifahan Abbasiyah: Meskipun as-Saffāḥ adalah khalifah pertama Abbasiyah, namun al-Manshūr yang meletakkan fondasi pemerintahan yang kokoh.


Pendiri kota Baghdad (145 H): Kota ini menjadi ibu kota kekhilafahan dan pusat ilmu pengetahuan Islam dunia.


Terkenal cerdas dan tegas: Ia hafal syair dari sekali dengar dan menguji para penyair yang datang padanya.


Mendukung ilmu dan ilmuwan, namun juga dikenal keras terhadap lawan politik dan pemberontak.


---


2. Al-Aṣma‘ī (الأصمعي)


Nama lengkap: ʿAbd al-Malik ibn Quraib al-Aṣmaʿī (عبد الملك بن قريب الأصمعي)

Lahir: Sekitar 122 H / 740 M

Wafat: Sekitar 216 H / 831 M

Asal: Basrah, Irak

Madhhab fiqh: Sunni


Keistimewaan dan peran:


Ahli bahasa Arab, sastra, dan syair klasik dari masa awal Abbasiyah.


Guru besar dalam nahwu, lughah, dan adab; sering diundang ke istana khalifah untuk membacakan syair dan menjelaskan bahasa Arab klasik.


Termasuk dalam kelompok “Ruwāt al-shi‘r”, yakni para perawi syair Arab Jahiliyyah dan Islam awal.


Dekat dengan khalifah Harun ar-Rashid dan al-Mahdi, namun juga dikenal sejak zaman al-Manshūr.

Karya-karyanya:


Al-Aṣma‘iyyāt – kumpulan syair Arab klasik.

Kitāb al-Khayl – tentang kuda Arab.

Kitāb al-Ibil – tentang unta.

*Kitāb al-Sha’ir wa al-Shu‘arā’ – tentang para penyair dan syair mereka.

Al-Aṣma‘ī juga dikenal sebagai tokoh cerita humor, kecerdikan, dan sindiran, seperti dalam kisah Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul di atas.



Referensi:

Diterjemahkan dari : https://ar.m.wikisource.org/wiki 

Partnership : App Chatgpt


✍🏼MHA El kanzu

🏡 Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩

⌚ 14:55 WIB

📝13 Syawal 1446 H / 14 April 2025 M


Selasa, 08 April 2025

Doa Yang Tulus

Terkadang Doa tulus yang datang dari lubuk hati terdalam dan bersih mendapatkan bimbingan untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang Allah Ridhai



رَبِّ مَا عَصَيْتُكَ اسْتِخْفَافًا بِعَظَمَتِكَ، وَلَا اسْتِهَانَةً بِقُدْرَتِكَ، وَلَكِنْ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ فَقْرِي،
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ قِلَّةَ حِيلَتِي، وَهَوَانِي عَلَى خَلْقِكَ،
اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضَعْفِي،
اللَّهُمَّ اجْبُرْ كَسْرِي،
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي أَغْنَى خَلْقِكَ بِكَ، وَأَفْقَرَهُمْ إِلَيْكَ،
وَاجْعَلْ دُعَائِي مَقْبُولًا.

“Wahai Rabbku, aku tidak mendurhakai-Mu karena meremehkan keagungan-Mu, dan bukan pula karena merendahkan kekuasaan-Mu. Akan tetapi, jiwakulah yang membujukku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang kefakiranku.
Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang kelemahan dayaku dan kehinaanku di hadapan makhluk-Mu.
Ya Allah, rahmatilah kelemahanku.
Ya Allah, perbaikilah kehancuranku.
Ya Allah, jadikanlah aku orang yang paling merasa cukup dengan-Mu di antara makhluk-Mu, dan paling merasa butuh kepada-Mu.
Dan jadikanlah doaku sebagai doa yang diterima.”


Dapat dari komentar netizen di YouTube 


Doa ini penuh dengan kerendahan hati dan pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah. Ia mengungkapkan bahwa dosa tidak selalu muncul dari penentangan, tetapi seringkali dari kelemahan jiwa. Bagai seorang hamba yang menangis pulang setelah tersesat, ia memohon agar Allah tidak menolaknya karena kesalahannya. Semoga Allah mengabulkan doa ini dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang dekat.

DOA KE-DUA 

ٱلْقُلُوبُ لَكَ مُفْضِيَةٌ، وَٱلسِّرُّ عِندَكَ عَلَانِيَةٌ،

ٱلْحَلَالُ مَا حَلَّلْتَ، وَٱلْحَرَامُ مَا حَرَّمْتَ،

وَٱلدِّينُ مَا شَرَعْتَ، وَٱلْأَمْرُ مَا قَضَيْتَ،

وَٱلْخَلْقُ خَلْقُكَ، وَٱلْعَبْدُ عَبْدُكَ،

وَأَنتَ ٱللّٰهُ ٱلرَّؤُوفُ ٱلرَّحِيمُ،

نَسْأَلُكَ بِعِزِّكَ ٱلَّذِي لَا يُرَامُ،

وَبِنُورِ وَجْهِكَ ٱلَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ ٱلسَّمَاوَاتُ وَٱلْأَرْضُ،

أَنْ تَغْفِرَ ذُنُوبَنَا،

وَأَنْ تَهْدِيَ قُلُوبَنَا،

وَأَنْ تُفَرِّجَ كُرُوبَنَا،

وَأَنْ تُصْلِحَ أَوْلَادَنَا،

وَأَنْ تُحَقِّقَ مَرَادَنَا،

وَأَنْ تَجْعَلَ ٱلتُّقَىٰ زَادَنَا،

وَأَنْ تَشْفِيَ مَرْضَانَا فِي سَاعَاتِنَا هَٰذِهِ أَجْمَعِينَ.

ٱللّٰهُمَّ ٱحْرُصْنَا بِعَيْنِكَ ٱلَّتِي لَا تَنَامُ،

وَٱكْلَفْنَا بِرُكْنِكَ ٱلَّذِي لَا يُضَامُ،

وَٱجْعَلْنَا بِجِوَارِكَ ٱلَّذِي لَا يُرَامُ،

وَٱرْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ عَلَيْنَا، فَلَا نَهْلِكُ وَأَنتَ رَجَاؤُنَا.


Hati-hati ini terbuka kepada-Mu,

dan segala rahasia di sisi-Mu adalah terang-terangan.

Yang halal adalah apa yang Engkau halalkan,

dan yang haram adalah apa yang Engkau haramkan.

Agama adalah apa yang Engkau syariatkan,

dan keputusan adalah apa yang Engkau tetapkan.

Makhluk adalah ciptaan-Mu, dan hamba adalah milik-Mu.

Dan Engkau adalah Allah, Yang Maha Lembut lagi Maha Penyayang.

Kami memohon kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu yang tak bisa disentuh,

dan dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari langit dan bumi,

agar Engkau mengampuni dosa-dosa kami,

memberi petunjuk kepada hati-hati kami,

melapangkan kesulitan kami,

memperbaiki anak-anak kami,

mengabulkan harapan-harapan kami,

menjadikan ketakwaan sebagai bekal kami,

dan menyembuhkan orang-orang sakit kami pada saat ini semuanya.

Ya Allah, jagalah kami dengan mata-Mu yang tidak pernah tidur,

dan lindungilah kami dengan kekuatan-Mu yang tidak tertandingi,

dan tempatkanlah kami di sisi-Mu yang tak tersentuh,

dan rahmatilah kami dengan kekuasaan-Mu atas kami,

maka janganlah Engkau binasakan kami, karena Engkaulah satu-satunya harapan kami.

https://youtube.com/shorts/cjauRs_RrxM?feature=shared


اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقُولُ:

﴿فَمَن تَابَ مِنۢ بَعْدِ ظُلْمِهِۦ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِۦ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ﴾

[المائدة: ٣٩]


وَإِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ، فَإِنَّكَ تَقُولُ:

﴿وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًۭا﴾

[الأحزاب: ٤٣]


وَإِنِّي مُؤْمِنٌۢ بِكَ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ، فَإِنَّكَ تَقُولُ:

﴿وَرَحْمَتِى وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍۢ﴾

[الأعراف: ١٥٦]


وَأَنَا شَيْءٌۭ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ...


فَأَيُّ مُصِيبَةٍ أَعْظَمُ مِنْ هَٰذِهِ الْمُصِيبَةِ، أَنْ تَضِيقَ عَنِّي رَحْمَتُكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا أَقُولُ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا:


﴿إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴾


وَأَنْتَ تَقُولُ:

﴿ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ﴿١٥٦﴾ أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ﴾

[البقرة: ١٥٦-١٥٧]

فَارْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ.


Ya Allah, sesungguhnya Engkau berfirman:

“Barang siapa bertobat setelah melakukan kezaliman dan memperbaiki diri, maka sungguh Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

(QS Al-Māidah: 39)


Dan sungguh aku telah bertobat kepada-Mu. Maka rahmatilah aku. Jika aku tidak pantas untuk itu, maka sungguh Engkau berfirman:

“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”

(QS Al-Ahzāb: 43)


Aku beriman kepada-Mu, maka rahmatilah aku. Jika aku tidak pantas untuk itu, maka sesungguhnya Engkau berfirman:

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”

(QS Al-A‘rāf: 156)


Aku adalah salah satu dari segala sesuatu itu, maka rahmatilah aku, walaupun aku tidak pantas untuk itu...


Maka musibah apa yang lebih besar daripada musibah ini, yaitu jika rahmat-Mu yang telah meliputi segala sesuatu justru terasa sempit bagiku? Aku tidak mengatakan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami:

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”


Dan Engkau berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.’

Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS Al-Baqarah: 156–157)

Maka rahmatilah aku dengan rahmat yang membuatku tidak lagi membutuhkan rahmat dari selain-Mu.


Teks Arab dengan harakāt (diperbaiki susunannya jika ada kekeliruan), terjemahan, serta sedikit penjelasan:



---


Teks Arab berharakāt (diperbaiki):


اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَوْفَ الْعَالِمِينَ بِكَ،

وَيَقِينَ الْمُتَوَكِّلِينَ عَلَيْكَ،

وَتَوَكُّلَ الْمُوقِنِينَ بِكَ،

وَإِخْبَاتَ الْمُنِيبِينَ إِلَيْكَ،

وَإِنَابَةَ الْمُخْبِتِينَ إِلَيْكَ،

وَصَبْرَ الشَّاكِرِينَ لَكَ،

وَشُكْرَ الصَّابِرِينَ لَكَ،

وَاللِّحَاقَ بِالْأَحْيَاءِ الْمَرْزُوقِينَ عِنْدَكَ.

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takutnya orang-orang yang mengenal-Mu,

keyakinannya orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu,

tawakkalnya orang-orang yang yakin kepada-Mu,

ketundukannya orang-orang yang kembali kepada-Mu,

kembalinya orang-orang yang tunduk kepada-Mu,

kesabaran orang-orang yang bersyukur kepada-Mu,

dan rasa syukur orang-orang yang sabar kepada-Mu,

serta dapat bergabung dengan orang-orang hidup yang diberi rezeki di sisi-Mu."

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Syair karya As-Suhaily (السهيلي) dari kitab البداية والنهاية (12/390) 


يَا مَنْ يَرَىٰ مَا فِي الضَّمِيرِ وَيَسْمَعُ

أَنْتَ الْمُعَدُّ لِكُلِّ مَا يُتَوَقَّعُ

Wahai Dzat yang melihat apa yang tersembunyi dalam hati dan mendengarnya,

Engkaulah yang telah mempersiapkan segala sesuatu yang diharapkan


يَا مَنْ يُرَجَّىٰ لِلشَّدَائِدِ كُلِّهَا

يَا مَنْ إِلَيْهِ الْمُشْتَكَىٰ وَالْمَفْزَعُ

Wahai Dzat yang menjadi harapan dalam seluruh kesulitan,

Wahai Dzat yang kepada-Nya tempat mengadu dan tempat berlindung.


يَا مَنْ خَزَائِنُ مُلْكِهِ فِي قَوْلِهِ كُنْ

أُمْنُنْ فَإِنَّ الْخَيْرَ عِنْدَكَ أَجْمَعُ

Wahai Dzat yang perbendaharaan kerajaan-Nya hanya dengan firman “Kun (jadilah)”,

Limpahkanlah karunia, karena semua kebaikan berada di sisi-Mu seluruhnya.


مَا لِي سِوَىٰ فَقْرِي إِلَيْكَ وَسِيلَةٌ

فَبِالِافْتِقَارِ إِلَيْكَ فَقْرِيَ أَدْفَعُ

Aku tidak memiliki perantara selain kefakiranku kepada-Mu,

Maka dengan kefakiran kepada-Mu, aku menolak kefakiranku (yang lain).


مَا لِي سِوَىٰ قَرْعِي لِبَابِكَ حِيلَةٌ

فَلَئِنْ رُدِدْتُ فَأَيَّ بَابٍ أَقْرَعُ؟

Aku tidak memiliki siasat selain mengetuk pintu-Mu,

Maka jika aku ditolak, pintu siapa lagi yang akan aku ketuk ?


وَمَنْ الَّذِي أَدْعُو وَأَهْتِفُ بِاسْمِهِ

إِنْ كَانَ فَضْلُكَ عَنْ فَقِيرٍ يُمْنَعُ؟

Dan siapa lagi yang akan aku seru dan panggil namanya,

Jika karunia-Mu saja Engkau tahan dari seorang fakir ?


حَاشَا لِمَجْدِكَ أَنْ تُقَنِّطَ عَاصِيًا

فَالْفَضْلُ أَجْزَلُ وَالْمَوَاهِبُ أَوْسَعُ


Maha Suci kemuliaan-Mu untuk membuat seorang pendosa berputus asa,
Karunia-Mu lebih agung dan pemberian-Mu lebih luas.

Sumber:
https://shamela.ws/book/17070/152

Recent Post