IMAM SYAFI'I MENUTURKAN :
Siapa yang tulus menjalin persaudaraan dengan sahabatnya maka ia akan menerima kesalahan-kesalahannya,, mengisi kekuranagnnya dan memaafkan ketregelincirannya".
RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". (HR. Muslim)
RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Seorang Muslim Adalah Bersaudara, Janganlah Mendzolimi, Merendahkan Dan Janganlah Mengejeknya. (HR. Muslim)
RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya baik di dunia maupun di akherat". (HR. Muslim)
Imam Syafi'i pernah berkata :
"Aku berangan-angan agar orang-orang mempelajari ilmuku ini dan mereka tidak menisbahkan sedikitpun ilmuku kepadaku selamanya, lalu akupun diberi ganjaran karenanya dan mereka tidak memujiku" (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 10/276)
Sabtu, 19 April 2025
Perintah Menjamu Tamu
Olahraga Jalan Kaki
Jalan Tanpa Alas Kaki (kaki ayam / nyeker)
Pertanyaan:
هل المشي حافياً سُنَّة؟
Apakah berjalan tanpa alas kaki termasuk sunnah?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dalam as-Sunan (no. 4160), dan oleh Ahmad dalam al-Musnad (no. 23969), dari 'Abdullāh bin Buraydah, bahwa:
Seorang laki-laki dari sahabat Nabi AE Shallallāhu 'alaihi wa sallam melakukan perjalanan menuju Fadālah bin 'Ubayd yang saat itu berada di Mesir. Lalu ia menemuinya, dan berkata: “Sungguh aku datang kepadamu bukan sebagai seorang yang ingin berkunjung (biasa), tetapi karena aku dan engkau telah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya.” Fadālah bertanya: “Hadits apa itu?.
Lalu ia pun menyebutkan hadits itu (isi hadits tidak disebut secara rinci di sini). Kemudian ia berkata lagi: “Mengapa aku melihatmu tampak kusut, padahal engkau adalah pemimpin (amir) negeri ini?”
Fadālah menjawab:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الإِرْفَاهِ .
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari banyak bentuk kemewahan (irfāh).”
Ia bertanya lagi: “Kenapa aku tidak melihat engkau memakai alas kaki?”
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا
Maka Fadālah menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallāhu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami agar sesekali berjalan tanpa alas kaki (berkaki ayam).”
Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāni dalam Ṣaḥīḥ Abī Dāwūd.
Penjelasan:
Ibnul Atsīr berkata dalam an-Nihāyah (2/247):
> Kata "الإِرْفَاهِ" (al-irfāh) maksudnya adalah terlalu banyak meminyaki (tubuh) dan hidup mewah. Ada pula yang mengatakan: memperluas diri dalam hal minuman dan makanan. Kata ini berasal dari “الرفه” yaitu air yang didatangi unta kapan saja ia mau—yakni hidup dalam kenyamanan dan kemewahan tanpa batas.
Maksudnya adalah: meninggalkan sikap memanjakan diri, bersantai-santai, dan hidup serba nyaman; karena itu termasuk gaya hidup bangsa 'ajam (non-Arab) dan orang-orang duniawi.
Sabda Nabi:
“كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا”
Maknanya: beliau memerintahkan agar kadang-kadang kita berjalan tanpa alas kaki.
Sebagian ulama menyatakan bahwa dianjurkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.
Hikmahnya:
• Melatih diri untuk hidup keras dan sederhana
• Menghindarkan dari sikap santai berlebihan
• Membiasakan diri dengan kezuhudan dan tidak tertarik pada kemewahan dunia
al-Qārī rahimahullāh berkata dalam Mirqāt al-Mafātīḥ (7/2827):
“(نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا): maksudnya adalah kami berjalan tanpa alas kaki, sebagai bentuk tawadhu’, merendahkan jiwa, dan agar seseorang terbiasa jika suatu saat harus melakukannya dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, diperintahkan hanya sesekali (أحيانًا), bukan terus-menerus.”
Ibnu ‘Abdil Qawī rahimahullāh berkata dalam syairnya (dalam Manzhūmah):
وَسِرْ حَافِيًا أَوْ حَاذِيًا وَامْشِ وَارْكَبَنْ
تَمَعْدَدْ وَاِخْشَوْشِنْ وَلَا تَتَعَوَّدِ
"Berjalanlah engkau tanpa alas kaki atau dengan alas kaki, berjalanlah atau berkendaralah.
Biasakan hidup sederhana dan keras, dan jangan membiasakan diri hidup manja."
Imam as-Saffārīnī rahimahullāh berkata:
"(وَسِرْ) dalam keadaan engkau (حَافِيًا) tanpa alas kaki, sesekali, sebagai bentuk meneladani Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. (أَوْ) berjalanlah dalam keadaan (حَاذِيًا) yaitu memakai alas kaki.”
(Selesai dari Ghidhā’ al-Albāb, 2/340)
---
Syaikh Ibn ‘Utsaimīn rahimahullāh berkata:
> *“Memakai sandal (alas kaki) termasuk sunnah, dan berjalan tanpa alas kaki pun termasuk sunnah. Oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang dari terlalu banyak bermewah-mewahan (الإرفاه), dan beliau memerintahkan agar sesekali berjalan tanpa alas kaki.
Maka sunnahnya adalah seseorang memakai alas kaki—tidak mengapa—tetapi sebaiknya juga sesekali berjalan tanpa alas kaki di tengah-tengah manusia, agar tampak sunnah ini, yang kadang-kadang justru dicela oleh sebagian orang. Jika mereka melihat seseorang berjalan tanpa alas kaki, mereka berkata: 'Apa ini? Orang ini orang bodoh!' Padahal ini keliru. Karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu banyak bermewah-mewahan, dan memerintahkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.”*
(Selesai dari Syarḥ Riyāḍ aṣ-Ṣāliḥīn, 6/387)
Kesimpulannya:
Disunnahkan bagi seseorang untuk berjalan tanpa alas kaki sesekali, selama tidak menimbulkan bahaya atau mudarat.
---
al-Munāwī rahimahullāh berkata:
> *“Jika seseorang aman dari najis yang bisa mengenainya—seperti berjalan di atas tanah berpasir, dan tidak membahayakannya—maka hal itu dianjurkan (mustahabb) sesekali, yakni berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya adalah untuk merendahkan diri dan mendidik jiwa.
Oleh karena itu disebutkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan baik dengan alas kaki maupun tanpa alas kaki, dan para sahabat juga biasa berjalan dengan atau tanpa alas kaki.”*
(Selesai dari Fayḍ al-Qadīr, 1/317)
---
Syaikh ‘Abdul Muḥsin al-‘Abbād ḥafiẓahullāh berkata:
> *“Jika kondisi tanah menuntut seseorang untuk memakai alas kaki, maka hendaknya ia memakai alas kaki. Misalnya jika tanah tersebut mengandung pecahan kaca, besi, bebatuan tajam, duri, atau panas terik karena matahari—maka hendaknya ia memakai pelindung yang telah Allah karuniakan kepadanya, yaitu dengan menggunakan alas kaki.
Namun, sesekali tidak memakai alas kaki—itulah yang disebutkan dalam hadits dari Faḍālah bin ‘Ubayd dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kami untuk sesekali berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya agar tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan dan kenyamanan, serta agar terbiasa dengan sedikit kekasaran dan kesederhanaan. Tapi hal ini bukan dilakukan secara terus-menerus, melainkan hanya dilakukan sesekali.”
(Selesai dari Syarḥ Sunan Abī Dāwūd, 23/273; versi al-Maktabah asy-Syāmilah)
Ringkasan Jawaban:
Kesimpulannya: berjalan tanpa alas kaki sesekali adalah bagian dari sunnah, namun hal ini dibatasi dengan syarat tidak menimbulkan ketenaran yang tercela bagi orang yang melakukannya di suatu daerah.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa jika seseorang adalah panutan di negerinya dan dikenal sebagai orang berilmu, maka boleh baginya berjalan tanpa alas kaki di hadapan manusia, karena mereka akan mengetahui bahwa hal itu termasuk sunnah.
Adapun jika seseorang bukan termasuk orang semacam itu, dan dikhawatirkan akan menjadi bahan cibiran orang-orang, maka cukup baginya melakukannya di rumah, atau di tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang awam.
والله تعالى أعلم (Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.)
Referensi:
Diterjemahkan dari : https://islamqa.info/ar/answers/235106/
Partnership : App Chatgpt
✍🏼MHA El kanzu
🏡 Suco - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 08:10WIB
📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M
Senin, 14 April 2025
Suara Burung Bulbul (صوت صفير البلبل الخليفة)
"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul" (Suara Burung Bulbul)
Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, ingin membatasi pemberian hadiah kepada para penyair. Ia dikenal sebagai seseorang yang bisa menghafal syair hanya dari sekali mendengarnya. Ia juga memiliki seorang pelayan laki-laki (ghulām) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya dua kali, dan seorang pelayan perempuan (jāriyah) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya tiga kali.
Maka, para penyair menyusun syair-syair panjang, mengarangnya selama satu malam, dua malam, bahkan tiga malam. Setelah selesai, mereka pun mempersembahkannya kepada khalifah. Namun ketika mereka membacakannya, khalifah akan berkata kepada mereka:
“Aku telah mendengar syair ini sebelumnya.”
“Jika itu adalah karanganmu sendiri, maka engkau akan diberi imbalan emas seberat tulisan syair itu. Namun jika itu adalah hasil kutipan dari orang lain, maka kami tidak akan memberimu apa pun.”
Maka sang penyair pun membacakan syairnya kepada khalifah, dan khalifah langsung menghafalnya dari pertama kali mendengarnya. Lalu khalifah berkata, “Aku telah menghafalnya sejak lama.”
Kemudian khalifah membacakannya kembali, dan memanggil seorang pelayan laki-laki yang juga hafal syair itu, dan ia pun membacakannya secara lengkap. Lalu dipanggillah seorang gadis pelayan yang mendengarkan syair itu sebanyak tiga kali, dan ia pun mampu mengulanginya secara lengkap.
Sang penyair pun mulai ragu terhadap dirinya sendiri dan berpikir, “Mungkinkah aku hanya mengutip syair ini dari orang lain tanpa sadar?” Demikian pula yang terjadi pada semua penyair lainnya. Akhirnya mereka semua merasa depresi.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah Al-Aṣmaʿī kepada mereka. Maka mereka pun mengadu padanya tentang apa yang terjadi. Mereka berkata, “Kami bersusah payah menyusun syair semalaman dengan pikiran dan tenaga sendiri, tapi ternyata ada tiga orang yang sudah hafal sebelum kami menyampaikannya!”
Lalu Al-Aṣmaʿī berkata, “Apakah benar kejadian ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ia bertanya, “Di mana?”
Mereka menjawab, “Di istana Amirul Mu’minin.”
Maka ia berkata, “Serahkan urusan ini padaku.”
Al-Aṣmaʿī pun menyusun sebuah syair yang penuh dengan keragaman tema dan gaya, lalu ia menyamar sebagai seorang badui dan datang menghadap khalifah untuk membacakan syairnya.
Khalifah pun berkata, “Apakah kamu tahu syaratnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Khalifah berkata, “Sampaikan syairmu!” Maka ia pun membacanya…
صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ
هَيَّجَ قَلْبِي الثَّمِلِ
Suara kicauan burung bulbul,
Telah menggugah hatiku yang mabuk cinta.
الْمَاءُ وَالزَّهْرُ مَعًا
مَعَ زَهْرِ لَحْظِ الْمُقَلِّ
Air dan bunga bersatu indahnya,
Bersama pandangan mata si jelita nan memesona.
وَأَنْتَ يَا سَيِّدَ لِي
وَسَيِّدِي وَمَوْلِيَ لِي
Dan engkaulah tuanku,
Tuanku dan juga kekasihku.
فَكَمْ فَكَمْ تَيَّمَنِي
غُزَيْلٌ عَقِيقَلِي
Betapa seringnya membuatku tergila-gila,
Seekor rusa mungil nan manis bagai akik merah.
قَطَّفْتُهُ مِنْ وَجْنَةٍ
مِنْ لَثْمِ وَرْدِ الْخَجَلِ
Kupetik ia dari pipi merah merona,
Seperti mencium bunga malu-malu.
فَقَالَ لَا لَا لَا لَا لَا
وَقَدْ غَدَا مُهَرْوِلِي
Ia pun berkata: “Tidak, tidak, tidak, tidak!”,
Namun malah berlari mendekatiku.
وَالْخُوذُ مَالَتْ طَرَبًا
مِنْ فِعْلِ هٰذَا الرَّجُلِ
Dan helm-helm pun condong karena gembira,
Melihat perbuatan lelaki ini yang luar biasa.
فَوَلْوَلَتْ وَوَلْوَلَتْ
وَلِي وَلِي يَا وَيْلَلِي
Mereka pun berteriak dan merintih pilu,
“Aduh, celaka! Wahai malangnya aku!”
فَقُلْتُ لَا تُوَلْوِلِي
وَبِينِي اللُّؤْلُؤَ لِي
Lalu aku berkata, “Janganlah merintih begitu,
Berikan saja mutiara (kata manis) itu kepadaku.”
قَالَتْ لَهُ حِينَ كَذَا
اِنْهَضْ وَجُدْ بِالنُّقَلِ
Dia pun berkata padanya saat itu juga,
“Berdirilah dan berilah permen manis sebagai hadiah.”
وَفِتْيَةٍ سَقَوْنَنِي
قَهْوَةً كَالْعَسَلِلِي
Dan para pemuda pun menyuguhiku,
Kopi manis laksana madu.
شَمَمْتُهَا بِأَنْفِي
أَزْكَى مِنَ الْقُرَنْفُلِ
Kuhirup dengan hidungku aromanya yang harum,
Lebih wangi dari bunga cengkeh yang semerbak.
فِي وَسَطِ بُسْتَانٍ حُلِي
بِالزَّهْرِ وَالسُّرُورِ لِي
Di tengah kebun yang indah permai,
Penuh bunga dan kebahagiaan yang membuat hati damai.
وَالْعُودُ دَنْدَنَ دَنَا لِي
وَالطَّبْلُ طَبْطَبَ طَبَّ لِي
Alat musik ‘ūd berdendang mendekatiku,
Dan genderang berdetak-detak menemaniku.
طَبْ طَبْطَبْ طَبْ طَبْطَبْ
طَبْ طَبْطَبْ طَبْطَبْ طَبْ لِي
“Tab-tabtab, tab-tabtab,”
Tabuhan riang yang mengiringiku.
وَالسَّقْفُ سَقْ سَقْ سَقْ لِي
وَالرَّقْصُ قَدْ طَابَ إِلَيَّ
Langit-langit pun ikut berderak, “sak-sak-sak”,
Dan tarian menjadi semakin menggembirakan.
شَوَى شَوَى وَشَاهِشْ
عَلَى وَرَقِ سِفْرَجَلِ
Dendangan “shawā shawā wa shāhish” pun terdengar,
Di atas daun pohon quince yang lebar.
وَغَرَّدَ الْقُمْرِيُّ يَصِيحُ
مَلَلْ فِي مَلَلِلِ
Burung tekukur pun berkicau lantang,
“Bosaaaan… bosan yang panjang.”
وَلَوْ تَرَانِي رَاكِبًا
عَلَى حِمَارٍ أَهْزَلِ
Andaikan kau lihat aku menaiki,
Seekor keledai kurus yang letih sekali.
يَمْشِي عَلَى ثَلَاثَةٍ
كَمِشْيَةِ الْعَرَنْجَلِي
Berjalan dengan tiga kaki,
Seperti gaya jalannya orang berpenyakit aneh sekali.
---
وَالنَّاسُ تَرْجُمُ جَمَلِي
فِي السُّوقِ بِالْقُلْقُلِلِي
Orang-orang melempar unta milikku,
Di pasar ramai dengan bunyi gaduh bertalu-talu.
وَالْكُلُّ كَعْكَعْ كَعِكَعْ
خَلْفِي وَمِنْ حُوَيْلَلِي
Dan semua orang ribut berisik di belakangku,
Juga di sekeliling kanan dan kiriku.
لَكِنْ مَشَيْتُ هَارِبًا
مِنْ خَشْيَةِ الْعَقْنَقَلِي
Tapi aku pun lari terbirit-birit,
Karena takut pada “al-‘aqnaqali” yang mengancam seperti petir.
إِلَى لِقَاءِ مَلِكٍ
مُعَظَّمٍ مُبَجَّلِ
Menuju pertemuan dengan seorang raja,
Yang agung dan sangat mulia.
يَأْمُرُ لِي بِخِلْعَةٍ
حَمْرَاءَ كَالْدَّمْ دَمَلِي
Ia pun memerintah agar aku diberi pakaian kehormatan,
Berwarna merah laksana darah mengalir dalam kehidupan.
أَجُرُّ فِيهَا مَاشِيًا
مُبَغْدِدًا لِلذَّيْلِلِي
Aku berjalan menjuntaikan ujung jubah itu dengan gagah,
Berlenggak-lenggok penuh wibawa dan indah.
أَنَا الْأَدِيبُ الْأَلْمَعِي
مِنْ حَيِّ أَرْضِ الْمَوْصِلِ
Akulah sastrawan yang brilian nan cemerlang,
Dari kampung halaman di tanah Mosul yang tenang.
نَظَمْتُ قِطْعًا زُخْرِفَتْ
يَعْجِزُ عَنْهَا الْأَدْبُلِي
Telah kususun bait-bait berhias indah menawan,
Sampai sastrawan terbaik pun tak mampu menyamai keindahan.
أَقُولُ فِي مَطْلَعِهَا
صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ
Kubuka bait ini dengan ucapan penuh seni:
*"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbulī" — Suara kicau
an burung bulbul yang berseri.
Saat itu Amirul Mukminin pun terkejut dan kebingungan.
Ia berkata, “Wahai ghulām, wahai jāriyah!”
Keduanya menjawab, “Kami belum pernah mendengar bait-bait ini sebelumnya, wahai Tuanku.”
Maka sang khalifah berkata, “Tunjukkan tempat engkau menuliskan syair ini, agar kami timbang dan kami berikan emas seberat itu.”
Sang penyair menjawab, “Aku mewarisi sebatang tiang marmer dari ayahku, dan aku telah menulis syair ini di atasnya. Tiang itu kini berada di atas punggung untaku. Tak akan mampu mengangkatnya kecuali sepuluh prajurit.”
Lalu mereka membawanya, dan benar—tiang marmer itu ditimbang, dan seluruh beratnya dibayar dengan emas.
Maka sang wazir pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku yakin bahwa orang ini tak lain adalah al-Aṣma‘ī.”
Sang khalifah pun berkata, “Bukalah cadarmu, wahai orang Arab dusun!”
Lalu ia membuka penutup wajahnya, dan ternyata benar—ia adalah al-Aṣma‘ī.
Khalifah pun berkata, “Apakah kau mempermainkan Amirul Mukminin seperti ini, wahai al-Aṣma‘ī?”
Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah memutus rezeki para penyair dengan caramu ini.”
Khalifah berkata, “Kembalikanlah emas itu, wahai al-Aṣma‘ī.”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Aku tidak akan mengembalikannya.”
Khalifah kembali berkata, “Kembalikanlah.”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Dengan satu syarat.”
Khalifah bertanya, “Apa itu?”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Agar engkau memberikan hak kepada para penyair atas apa yang mereka karang maupun yang mereka kutip.”
Khalifah pun berkata, “Engkau mendapatkan apa yang engkau minta.”
Kisah ini menunjukkan kecerdikan al-Aṣma‘ī dan hikmah di baliknya: bahwa karya sastra, baik ciptaan orisinal maupun kutipan, layak dihargai.
__________________________________________
Berikut biografi singkat tentang Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan al-Aṣma‘ī:
1. Abu Ja‘far al-Manshūr (أبو جعفر المنصور)
Nama lengkap: ʿAbdullāh ibn Muḥammad ibn ʿAlī ibn ʿAbdillāh
Gelar: Abu Ja‘far al-Manshūr
Lahir: Tahun 95 H / 714 M
Wafat: Tahun 158 H / 775 M
Kekhalifahan: 136–158 H / 754–775 M
Dinasti: Bani Abbasiyah (Khalifah kedua setelah As-Saffah)
Keistimewaan dan peran:
Pendiri sejati kekhalifahan Abbasiyah: Meskipun as-Saffāḥ adalah khalifah pertama Abbasiyah, namun al-Manshūr yang meletakkan fondasi pemerintahan yang kokoh.
Pendiri kota Baghdad (145 H): Kota ini menjadi ibu kota kekhilafahan dan pusat ilmu pengetahuan Islam dunia.
Terkenal cerdas dan tegas: Ia hafal syair dari sekali dengar dan menguji para penyair yang datang padanya.
Mendukung ilmu dan ilmuwan, namun juga dikenal keras terhadap lawan politik dan pemberontak.
---
2. Al-Aṣma‘ī (الأصمعي)
Nama lengkap: ʿAbd al-Malik ibn Quraib al-Aṣmaʿī (عبد الملك بن قريب الأصمعي)
Lahir: Sekitar 122 H / 740 M
Wafat: Sekitar 216 H / 831 M
Asal: Basrah, Irak
Madhhab fiqh: Sunni
Keistimewaan dan peran:
Ahli bahasa Arab, sastra, dan syair klasik dari masa awal Abbasiyah.
Guru besar dalam nahwu, lughah, dan adab; sering diundang ke istana khalifah untuk membacakan syair dan menjelaskan bahasa Arab klasik.
Termasuk dalam kelompok “Ruwāt al-shi‘r”, yakni para perawi syair Arab Jahiliyyah dan Islam awal.
Dekat dengan khalifah Harun ar-Rashid dan al-Mahdi, namun juga dikenal sejak zaman al-Manshūr.
Karya-karyanya:
Al-Aṣma‘iyyāt – kumpulan syair Arab klasik.
Kitāb al-Khayl – tentang kuda Arab.
Kitāb al-Ibil – tentang unta.
*Kitāb al-Sha’ir wa al-Shu‘arā’ – tentang para penyair dan syair mereka.
Al-Aṣma‘ī juga dikenal sebagai tokoh cerita humor, kecerdikan, dan sindiran, seperti dalam kisah Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul di atas.
Referensi:
Diterjemahkan dari : https://ar.m.wikisource.org/wiki
Partnership : App Chatgpt
✍🏼MHA El kanzu
🏡 Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 14:55 WIB
📝13 Syawal 1446 H / 14 April 2025 M
Selasa, 08 April 2025
Doa Yang Tulus
Terkadang Doa tulus yang datang dari lubuk hati terdalam dan bersih mendapatkan bimbingan untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang Allah Ridhai
رَبِّ مَا عَصَيْتُكَ اسْتِخْفَافًا بِعَظَمَتِكَ، وَلَا اسْتِهَانَةً بِقُدْرَتِكَ، وَلَكِنْ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ فَقْرِي،
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ قِلَّةَ حِيلَتِي، وَهَوَانِي عَلَى خَلْقِكَ،
اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضَعْفِي،
اللَّهُمَّ اجْبُرْ كَسْرِي،
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي أَغْنَى خَلْقِكَ بِكَ، وَأَفْقَرَهُمْ إِلَيْكَ،
وَاجْعَلْ دُعَائِي مَقْبُولًا.
“Wahai Rabbku, aku tidak mendurhakai-Mu karena meremehkan keagungan-Mu, dan bukan pula karena merendahkan kekuasaan-Mu. Akan tetapi, jiwakulah yang membujukku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.
Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang kefakiranku.
Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang kelemahan dayaku dan kehinaanku di hadapan makhluk-Mu.
Ya Allah, rahmatilah kelemahanku.
Ya Allah, perbaikilah kehancuranku.
Ya Allah, jadikanlah aku orang yang paling merasa cukup dengan-Mu di antara makhluk-Mu, dan paling merasa butuh kepada-Mu.
Dan jadikanlah doaku sebagai doa yang diterima.”
Dapat dari komentar netizen di YouTube
Doa ini penuh dengan kerendahan hati dan pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah. Ia mengungkapkan bahwa dosa tidak selalu muncul dari penentangan, tetapi seringkali dari kelemahan jiwa. Bagai seorang hamba yang menangis pulang setelah tersesat, ia memohon agar Allah tidak menolaknya karena kesalahannya. Semoga Allah mengabulkan doa ini dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang dekat.
DOA KE-DUA
ٱلْقُلُوبُ لَكَ مُفْضِيَةٌ، وَٱلسِّرُّ عِندَكَ عَلَانِيَةٌ،
ٱلْحَلَالُ مَا حَلَّلْتَ، وَٱلْحَرَامُ مَا حَرَّمْتَ،
وَٱلدِّينُ مَا شَرَعْتَ، وَٱلْأَمْرُ مَا قَضَيْتَ،
وَٱلْخَلْقُ خَلْقُكَ، وَٱلْعَبْدُ عَبْدُكَ،
وَأَنتَ ٱللّٰهُ ٱلرَّؤُوفُ ٱلرَّحِيمُ،
نَسْأَلُكَ بِعِزِّكَ ٱلَّذِي لَا يُرَامُ،
وَبِنُورِ وَجْهِكَ ٱلَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ ٱلسَّمَاوَاتُ وَٱلْأَرْضُ،
أَنْ تَغْفِرَ ذُنُوبَنَا،
وَأَنْ تَهْدِيَ قُلُوبَنَا،
وَأَنْ تُفَرِّجَ كُرُوبَنَا،
وَأَنْ تُصْلِحَ أَوْلَادَنَا،
وَأَنْ تُحَقِّقَ مَرَادَنَا،
وَأَنْ تَجْعَلَ ٱلتُّقَىٰ زَادَنَا،
وَأَنْ تَشْفِيَ مَرْضَانَا فِي سَاعَاتِنَا هَٰذِهِ أَجْمَعِينَ.
ٱللّٰهُمَّ ٱحْرُصْنَا بِعَيْنِكَ ٱلَّتِي لَا تَنَامُ،
وَٱكْلَفْنَا بِرُكْنِكَ ٱلَّذِي لَا يُضَامُ،
وَٱجْعَلْنَا بِجِوَارِكَ ٱلَّذِي لَا يُرَامُ،
وَٱرْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ عَلَيْنَا، فَلَا نَهْلِكُ وَأَنتَ رَجَاؤُنَا.
Hati-hati ini terbuka kepada-Mu,
dan segala rahasia di sisi-Mu adalah terang-terangan.
Yang halal adalah apa yang Engkau halalkan,
dan yang haram adalah apa yang Engkau haramkan.
Agama adalah apa yang Engkau syariatkan,
dan keputusan adalah apa yang Engkau tetapkan.
Makhluk adalah ciptaan-Mu, dan hamba adalah milik-Mu.
Dan Engkau adalah Allah, Yang Maha Lembut lagi Maha Penyayang.
Kami memohon kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu yang tak bisa disentuh,
dan dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari langit dan bumi,
agar Engkau mengampuni dosa-dosa kami,
memberi petunjuk kepada hati-hati kami,
melapangkan kesulitan kami,
memperbaiki anak-anak kami,
mengabulkan harapan-harapan kami,
menjadikan ketakwaan sebagai bekal kami,
dan menyembuhkan orang-orang sakit kami pada saat ini semuanya.
Ya Allah, jagalah kami dengan mata-Mu yang tidak pernah tidur,
dan lindungilah kami dengan kekuatan-Mu yang tidak tertandingi,
dan tempatkanlah kami di sisi-Mu yang tak tersentuh,
dan rahmatilah kami dengan kekuasaan-Mu atas kami,
maka janganlah Engkau binasakan kami, karena Engkaulah satu-satunya harapan kami.
https://youtube.com/shorts/cjauRs_RrxM?feature=shared
اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقُولُ:
﴿فَمَن تَابَ مِنۢ بَعْدِ ظُلْمِهِۦ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِۦ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ﴾
[المائدة: ٣٩]
وَإِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ، فَإِنَّكَ تَقُولُ:
﴿وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًۭا﴾
[الأحزاب: ٤٣]
وَإِنِّي مُؤْمِنٌۢ بِكَ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ، فَإِنَّكَ تَقُولُ:
﴿وَرَحْمَتِى وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍۢ﴾
[الأعراف: ١٥٦]
وَأَنَا شَيْءٌۭ، فَارْحَمْنِي، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلًا لِذَٰلِكَ...
فَأَيُّ مُصِيبَةٍ أَعْظَمُ مِنْ هَٰذِهِ الْمُصِيبَةِ، أَنْ تَضِيقَ عَنِّي رَحْمَتُكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا أَقُولُ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا:
﴿إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴾
وَأَنْتَ تَقُولُ:
﴿ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ﴿١٥٦﴾ أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ﴾
[البقرة: ١٥٦-١٥٧]
فَارْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau berfirman:
“Barang siapa bertobat setelah melakukan kezaliman dan memperbaiki diri, maka sungguh Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS Al-Māidah: 39)
Dan sungguh aku telah bertobat kepada-Mu. Maka rahmatilah aku. Jika aku tidak pantas untuk itu, maka sungguh Engkau berfirman:
“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”
(QS Al-Ahzāb: 43)
Aku beriman kepada-Mu, maka rahmatilah aku. Jika aku tidak pantas untuk itu, maka sesungguhnya Engkau berfirman:
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”
(QS Al-A‘rāf: 156)
Aku adalah salah satu dari segala sesuatu itu, maka rahmatilah aku, walaupun aku tidak pantas untuk itu...
Maka musibah apa yang lebih besar daripada musibah ini, yaitu jika rahmat-Mu yang telah meliputi segala sesuatu justru terasa sempit bagiku? Aku tidak mengatakan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami:
“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”
Dan Engkau berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.’
Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS Al-Baqarah: 156–157)
Maka rahmatilah aku dengan rahmat yang membuatku tidak lagi membutuhkan rahmat dari selain-Mu.
Teks Arab dengan harakāt (diperbaiki susunannya jika ada kekeliruan), terjemahan, serta sedikit penjelasan:
---
Teks Arab berharakāt (diperbaiki):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَوْفَ الْعَالِمِينَ بِكَ،
وَيَقِينَ الْمُتَوَكِّلِينَ عَلَيْكَ،
وَتَوَكُّلَ الْمُوقِنِينَ بِكَ،
وَإِخْبَاتَ الْمُنِيبِينَ إِلَيْكَ،
وَإِنَابَةَ الْمُخْبِتِينَ إِلَيْكَ،
وَصَبْرَ الشَّاكِرِينَ لَكَ،
وَشُكْرَ الصَّابِرِينَ لَكَ،
وَاللِّحَاقَ بِالْأَحْيَاءِ الْمَرْزُوقِينَ عِنْدَكَ.
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takutnya orang-orang yang mengenal-Mu,
keyakinannya orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu,
tawakkalnya orang-orang yang yakin kepada-Mu,
ketundukannya orang-orang yang kembali kepada-Mu,
kembalinya orang-orang yang tunduk kepada-Mu,
kesabaran orang-orang yang bersyukur kepada-Mu,
dan rasa syukur orang-orang yang sabar kepada-Mu,
serta dapat bergabung dengan orang-orang hidup yang diberi rezeki di sisi-Mu."
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-
Syair karya As-Suhaily (السهيلي) dari kitab البداية والنهاية (12/390)
يَا مَنْ يَرَىٰ مَا فِي الضَّمِيرِ وَيَسْمَعُ
أَنْتَ الْمُعَدُّ لِكُلِّ مَا يُتَوَقَّعُ
Wahai Dzat yang melihat apa yang tersembunyi dalam hati dan mendengarnya,
Engkaulah yang telah mempersiapkan segala sesuatu yang diharapkan
يَا مَنْ يُرَجَّىٰ لِلشَّدَائِدِ كُلِّهَا
يَا مَنْ إِلَيْهِ الْمُشْتَكَىٰ وَالْمَفْزَعُ
Wahai Dzat yang menjadi harapan dalam seluruh kesulitan,
Wahai Dzat yang kepada-Nya tempat mengadu dan tempat berlindung.
يَا مَنْ خَزَائِنُ مُلْكِهِ فِي قَوْلِهِ كُنْ
أُمْنُنْ فَإِنَّ الْخَيْرَ عِنْدَكَ أَجْمَعُ
Wahai Dzat yang perbendaharaan kerajaan-Nya hanya dengan firman “Kun (jadilah)”,
Limpahkanlah karunia, karena semua kebaikan berada di sisi-Mu seluruhnya.
مَا لِي سِوَىٰ فَقْرِي إِلَيْكَ وَسِيلَةٌ
فَبِالِافْتِقَارِ إِلَيْكَ فَقْرِيَ أَدْفَعُ
Aku tidak memiliki perantara selain kefakiranku kepada-Mu,
Maka dengan kefakiran kepada-Mu, aku menolak kefakiranku (yang lain).
مَا لِي سِوَىٰ قَرْعِي لِبَابِكَ حِيلَةٌ
فَلَئِنْ رُدِدْتُ فَأَيَّ بَابٍ أَقْرَعُ؟
Aku tidak memiliki siasat selain mengetuk pintu-Mu,
Maka jika aku ditolak, pintu siapa lagi yang akan aku ketuk ?
وَمَنْ الَّذِي أَدْعُو وَأَهْتِفُ بِاسْمِهِ
إِنْ كَانَ فَضْلُكَ عَنْ فَقِيرٍ يُمْنَعُ؟
Dan siapa lagi yang akan aku seru dan panggil namanya,
Jika karunia-Mu saja Engkau tahan dari seorang fakir ?
حَاشَا لِمَجْدِكَ أَنْ تُقَنِّطَ عَاصِيًا
فَالْفَضْلُ أَجْزَلُ وَالْمَوَاهِبُ أَوْسَعُ