IMAM SYAFI'I MENUTURKAN :
Siapa yang tulus menjalin persaudaraan dengan sahabatnya maka ia akan menerima kesalahan-kesalahannya,, mengisi kekuranagnnya dan memaafkan ketregelincirannya".
RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". (HR. Muslim)
RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Seorang Muslim Adalah Bersaudara, Janganlah Mendzolimi, Merendahkan Dan Janganlah Mengejeknya. (HR. Muslim)
RASULULLAH shlallahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya baik di dunia maupun di akherat". (HR. Muslim)
Imam Syafi'i pernah berkata :
"Aku berangan-angan agar orang-orang mempelajari ilmuku ini dan mereka tidak menisbahkan sedikitpun ilmuku kepadaku selamanya, lalu akupun diberi ganjaran karenanya dan mereka tidak memujiku" (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 10/276)
Selasa, 15 Juli 2025
Kalimat indah Imam Asy-Syāfi‘ī Sebelum Beliau Wafat
Sabtu, 17 Mei 2025
NIKMAT SEHAT
Bismillah
الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يراه إلا المرضى
"Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sakit."
Wahai saudara-saudara seiman,
Sesungguhnya di antara nikmat yang paling agung dan mulia adalah nikmat sehat dan afiyah (keselamatan tubuh dan jiwa). Karena kedudukannya yang sangat tinggi, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda:
"من أصبح منكم معافىً في جسده، آمناً في سربه، عنده قوت يومه، فكأنما حيزت له الدنيا بحذافيرها."
"Barangsiapa di antara kalian yang berada di pagi hari dalam keadaan sehat jasmaninya, aman dalam tempat tinggalnya, dan memiliki makanan pokok untuk hari itu, maka seakan-akan dunia seluruhnya telah dikumpulkan untuknya."
Diriwayatkan oleh الحميدي dan البخاري في الأدب المفرد.
Syair Arab:
ثلاثةٌ يُجهَلُ مقدارُها
الأمنُ والصحةُ والقُوتُ
فلا تَثِقْ بالمالِ من غيرِها
لو أنَّه دُرٌّ ويَاقوتُ
Artinya:
Tiga perkara yang nilainya sering diabaikan:
Keamanan, kesehatan, dan makanan pokok.
Janganlah engkau percaya pada harta tanpa tiga ini,
Meski itu berupa mutiara dan permata.
Kesehatan, wahai para sahabat, adalah salah satu kualifikasi untuk memperoleh kekuasaan dan keunggulan. Allah Ta'ālā berfirman:
﴿ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴾
"Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan memberinya kelebihan dalam ilmu dan fisik. Dan Allah memberikan kerajaan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 247)
Perkataan Ibnu Katsīr rahimahullah:
"Dari sinilah dipahami bahwa raja itu semestinya memiliki ilmu, penampilan yang baik, kekuatan jasmani, dan keteguhan jiwa."
Kesehatan adalah salah satu nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak orang.
Dari Ibnu ‘Abbās رضي الله عنه, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"نِعمتانِ مَغبونٌ فيهِما كثيرٌ مِنَ النّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ"
"Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu (merugi) karenanya: kesehatan dan waktu luang."
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, juga dalam Shahih al-Bukhari.
الصحة من موجبات الخيرية
Kesehatan Termasuk Sebab-Sebab Kebaikan
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah, ketahuilah —bāraكَallāhu fīkum— bahwa kekuatan tubuh dan fisik merupakan bagian dari sebab-sebab kebaikan dan keutamaan di sisi Allah
Dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ "لَوْ" تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ»
(HR. Muslim)
Artinya: "Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah berkata: 'Seandainya aku melakukan demikian tentu akan demikian dan demikian,' akan tetapi katakanlah: 'Ini takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena kata 'seandainya' membuka pintu perbuatan setan."
Allah Ta‘ālā juga berfirman tentang kisah putri Syu‘aib :
﴿ قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ ﴾
(القصص: ٢٦)
Artinya: "Salah seorang dari dua perempuan itu berkata: Wahai ayahku, ambillah dia sebagai pekerja (pengembala kita). Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau ambil sebagai pekerja ialah yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS. Al-Qashash: 26)
Perkataan Ibnul Jauzī rahimahullāh:
قال ابن الجوزي:
«يا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ: أي اتخذه أجيرًا، إن خير من استأجرت القوي الأمين: أي خير من استعملت على عملك من قويّ على عملك وأدى الأمانة، وإنما سمته قويًّا لرفعه الحجر عن رأس البئر، وسمته أمينًا لأنه أمرها أن تمشي خلفه، وقال السدي: قال لها شعيب: قد رأيتِ قوته، فما يدريك بأمانته؟ فحدثته»
[Zād al-Masīr fī ‘Ilm at-Tafsīr, Ibn al-Jawzī]
Artinya: Ibnu al-Jauzī berkata: “Wahai Ayahku, ambillah dia sebagai pekerja”—yakni jadikanlah dia pegawaimu. “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah yang kuat lagi amanah”—yaitu, orang yang sanggup melakukan pekerjaanmu dan menunaikan amanah. Ia menyebutnya kuat karena mampu mengangkat batu besar di mulut sumur, dan menyebutnya amanah karena dia menyuruhnya berjalan di belakang. As-Suddī berkata: Syu‘aib berkata kepada putrinya: ‘Kau telah melihat kekuatannya, tapi dari mana kau tahu dia amanah?’ Maka putrinya pun menceritakan apa yang terjadi.”
---
Kesehatan dan Afiyah Adalah Karunia Terbesar Setelah Yakin
Dari Mu‘ādz bin Rifa‘ah dari ayahnya, ia berkata:
Abū Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis dan berkata:
«قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الأَوَّلِ عَلَى المِنْبَرِ ثُمَّ بَكَى، فَقَالَ: اسْأَلُوا اللَّهَ العَفْوَ وَالعَافِيَةَ، فَإِنَّ أَحَدًا لَمْ يُعْطَ بَعْدَ اليَقِينِ خَيْرًا مِنَ العَافِيَةِ»
Artinya: "Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan berkata: Mintalah kepada Allah ampunan dan keselamatan (afiyah), karena tidaklah seseorang diberikan setelah keyakinan sesuatu yang lebih baik daripada afiyah (kesehatan dan keselamatan)."
(HR. At-Tirmidzī no. 3558, dihasankan oleh Al-Albānī)
Diriwayatkan pula oleh Abū Dāwūd ath-Thayālisī:
عَنْ أَوْسَطَ الْبَجَلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ يَخْطُبُ، فَذَكَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَكَى، ثُمَّ قَالَ:
«عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّهُ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَهُمَا فِي الْجَنَّةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّهُ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَهُمَا فِي النَّارِ، وَاسْأَلُوا اللَّهَ الْيَقِينَ وَالْمُعَافَاةَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يُعْطَوْا شَيْئًا بَعْدَ الْيَقِينِ أَفْضَلَ مِنَ الْمُعَافَاةِ، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا»
Artinya: "Hendaklah kalian berlaku jujur, karena jujur membawa kepada kebaikan dan keduanya di surga. Dan jauhilah dusta, karena dusta membawa kepada kefajiran dan keduanya di neraka. Mintalah kepada Allah keyakinan dan keselamatan (afiyah), karena tidaklah manusia diberikan sesuatu setelah keyakinan yang lebih utama daripada afiyah. Jangan saling hasad, jangan saling membenci, jangan saling memutus hubungan, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
(HR. Abū Dāwūd Ath-Thayālisī)
---
Perkataan Al-Hasan Al-Bashrī rahimahullāh:
روى ابن المبارك في الزهد عن الْحَسَنَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«إِلَّا إِنَّ النَّاسَ لَمْ يُؤْتَوْا فِي الدُّنْيَا شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْيَقِينِ وَالْعَافِيَةِ، فَسَلُوهُمَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ»
وقال الحسن:
«صَدَقَ اللَّهُ وَصَدَقَ رَسُولُهُ، بِالْيَقِينِ هُرِبَ مِنَ النَّارِ، وَبِالْيَقِينِ طُلِبَتِ الْجَنَّةُ، وَبِالْيَقِينِ صُبِرَ عَلَى الْمَكْرُوهِ، وَبِالْيَقِينِ أُدِّيَتِ الْفَرَائِضُ، وَفِي مُعَافَاةِ اللَّهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ، قَدْ وَاللَّهِ رَأَيْنَاهُمْ يَتَقَارَبُونَ فِي الْعَافِيَةِ، فَإِذَا وَقَعَ الْبَلَاءُ تَبَايَنُوا»
Artinya: "Sungguh manusia tidaklah diberikan di dunia ini sesuatu yang lebih baik daripada keyakinan dan keselamatan (afiyah), maka mintalah keduanya kepada Allah ‘azza wa jalla." (Kitāb az-Zuhd, Ibn al-Mubārak)
Dan Al-Hasan berkata:
"Benar Allah dan benar Rasul-Nya.
Dengan keyakinanlah orang-orang lari dari neraka,
dengan keyakinanlah surga dicari,
dengan keyakinanlah seseorang bersabar atas cobaan,
dengan keyakinanlah kewajiban ditunaikan.
Dalam afiyah Allah terdapat banyak kebaikan. Demi Allah, kami melihat mereka tampak sama dalam keadaan sehat, namun bila datang cobaan mereka saling berbeda."
---
Basyar bin Burd berkata:
“Sesungguhnya aku, meskipun mengumpulkan harta itu menyenangkan bagiku,
tapi tidak ada yang lebih bernilai bagiku dibanding kesehatan tubuh.
Harta itu indah, dan anak-anak itu kehormatan,
namun penyakit bisa membuatmu lupa akan harta dan anak-anak.”
---
Memuji Allah atas nikmat ‘afiyah (kesehatan dan keselamatan):
Wahai hamba-hamba Allah, siapakah di antara kita yang benar-benar memuji Allah atas nikmat kesehatan dan keselamatan yang telah dianugerahkan-Nya, kemudian ia pun bersyukur kepada-Nya?
Disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada temannya ketika keduanya melihat rumah-rumah megah dan istana-istana, “Di manakah posisi kita saat harta-harta ini dibagikan?” Maka temannya yang lebih bijak dan cerdas menggandeng tangannya, membawanya ke rumah sakit, lalu berkata, “Di manakah kita saat penyakit-penyakit ini dibagikan?” Maka lelaki itu pun terdiam, dan menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang sebanding dengan nilai nikmat ‘afiyah (kesehatan). Betapa banyak orang yang memiliki fasilitas, rumah, dan kekayaan, namun mereka kehilangan kesehatan.
---
Dikisahkan bahwa seorang lelaki salih yang buta pernah ditanya: “Apa yang engkau inginkan?”
Ia menjawab, “Aku hanya berharap dapat melihat, semata-mata agar aku bisa melihat firman Allah Ta‘ālā:
﴿ أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴾ [الغاشية: 17]
‘Tidakkah mereka memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?’
Aku tidak menginginkan apa pun kecuali ketika aku melewati ayat ini dan membacanya, aku sangat berharap bisa melihat—agar aku dapat memperhatikan ciptaan Allah dengan penuh perenungan dan pelajaran!”
---
Al-Ja‘d berkata: Telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd, dari Ibn Idrīs, ia berkata:
Al-A‘mash berkata kepadaku:
“Tidakkah engkau heran terhadap ‘Abd al-Malik bin Abjar?”
Ia berkata, “Ada seseorang datang kepadaku lalu berkata: ‘Aku belum pernah sakit, dan aku ingin sekali merasakan sakit.’
Maka aku berkata, ‘Bersyukurlah kepada Allah atas kesehatanmu.’
Namun ia tetap berkata, ‘Aku ingin sekali merasakan sakit.’
Maka aku berkata, ‘Makanlah ikan asin, minumlah nabīdh marīs (semacam minuman manis hasil perasan), duduklah di bawah terik matahari, dan mintalah kepada Allah agar engkau sakit!’”
Lalu al-A‘mash tertawa dan berkata, “Seakan-akan dia mengatakan kepadanya: ‘Mintalah kesembuhan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.’”
---
Memperbarui rasa syukur setiap kali melihat orang yang diuji kesehatannya:
Sudah sepatutnya kita memperbarui rasa syukur dan pujian kepada Allah setiap kali melihat seseorang yang diuji pada kesehatannya.
Dari Abū Hurairah, ia berkata:
Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa melihat orang yang tertimpa musibah (pada tubuhnya atau kesehatannya), lalu ia berkata:
‘Alhamdulillāhi alladzī ‘āfānī mimmā ibtalāka bihī, wa faḍḍalanī ‘alā katsīrin mimman khalaqa tafḍīlā’
(Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari ujian yang menimpamu, dan telah mengutamakanku atas banyak makhluk lain dengan keutamaan yang besar),
maka ia tidak akan tertimpa bala’ tersebut.”
(HR. at-Tirmidzī, dan dishahihkan oleh al-Albānī)
Disebutkan pula dari Muhammad bin Ja‘far bin Muhammad bin ‘Alī bahwa ia berkata:
“Jika melihat orang yang diuji (dengan penyakit), hendaklah ia membaca doa tersebut di dalam hati, dan tidak membiarkan orang yang diuji mendengarnya.”
---
Manhaj Islam dalam Menjaga Kesehatan
Wahai saudara-saudara seiman: Sesungguhnya Islam telah meletakkan manhaj (pedoman) yang unik dan undang-undang yang lurus untuk menjaga kesehatan dan memperhatikannya. Seandainya engkau membolak-balik semua undang-undang dunia, niscaya engkau tidak akan mendapatkan manhaj seperti ini. Tahukah engkau mengapa?
Karena yang meletakkannya adalah al-‘Alīm al-Khabīr (Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti), Dzat yang menciptakan makhluk dan menetapkan segala urusan, Dialah Allah Jalla Jalāluh. Maka inilah, wahai hamba-hamba Allah, beberapa langkah dalam menjaga kesehatan:
---
Langkah Pertama: Memperhatikan Kebersihan dan Kesucian
Agama apa dan syariat mana, wahai kekasih-kekasihku karena Allah, yang menjadikan kesucian itu setengah dari iman?
Itulah agama Islam.
Dari Abū Mālik al-Asy’arī, bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Kesucian adalah separuh dari iman. Alhamdulillāh memenuhi timbangan. Subhānallāh dan alhamdulillāh serta Allāhu akbar memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi. Salat adalah cahaya. Sedekah adalah bukti. Sabar adalah cahaya terang. Al-Qur'an adalah hujah (argumen) untukmu atau atasmu. Semua manusia pergi di pagi hari, lalu menjual dirinya; ada yang membebaskan dirinya atau mencelakakannya."
(HR. Muslim)
Allah Mencintai Orang-orang yang Mensucikan Diri
Wahai kekasihku karena Allah, Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan. Maka Dia mencintai mereka, memuji mereka, dan menyanjung mereka – Jalla Jalāluh –. Allah Ta’ālā berfirman:
﴿ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴾
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri."
(QS. Al-Baqarah: 222)
Maka Allah syariatkan bersuci dan menjadikannya sebagai syarat sah salat. Tidak sah salat tanpa wudhu. Allah juga mensyariatkan mandi janabah. Dia memerintahkan kita untuk memakai pakaian indah dan memperhatikan kebersihan pakaian serta memakai wewangian, terutama di tempat ibadah. Allah Ta’ālā berfirman:
﴿ يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴾
"Wahai anak Adam, pakailah pakaian indahmu setiap kali ke masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
(QS. Al-A'rāf: 31)
Tentang kebersihan pakaian, Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
﴿ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ﴾
"Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu."
(QS. Al-Muddatsir: 1–4)
Dari Abū Dardā’ radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya kalian akan mendatangi saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraan dan pakaian kalian, hingga kalian tampak seperti tahi lalat (menonjol) di tengah-tengah manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kekasaran dan kata-kata kasar."
(HR. Ahmad)
Memelihara Kebersihan Tempat
Diriwayatkan dari Ṣāliḥ bin Abī Ḥassān, ia berkata: Aku mendengar Sa’īd bin al-Musayyib berkata:
"Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan mencintai kebaikan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan, Maha Mulia dan mencintai kemuliaan, Maha Dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumah kalian, dan jangan menyerupai orang-orang Yahudi."
(HR. At-Tirmiżī)
---
Langkah Kedua: Bersikap Seimbang dalam Makan dan Minum
Allah Ta’ālā telah merangkum semua ilmu pengobatan dalam setengah ayat. Dia berfirman:
﴿ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴾
"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."
(QS. Al-A'rāf: 31)
Pantangan adalah kepala dari setiap obat, dan kekenyangan adalah pangkal dari semua penyakit.
Disebutkan bahwa Hārūn ar-Rashīd memiliki seorang tabib Nasrani yang pandai dan sombong dengan ilmunya. Suatu ketika ia berkata kepada ‘Alī bin al-Ḥusayn al-Marwazī: "Dalam kitab kalian (Al-Qur’an) tidak ada ilmu pengobatan sama sekali. Padahal ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu badan." Maka ‘Alī bin al-Ḥusayn menjawab: "Allah telah merangkum seluruh ilmu pengobatan dalam setengah ayat dalam kitab kami." Ia bertanya: "Ayat apa itu?" Ia menjawab:
﴿ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ﴾
"Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan."
(QS. Al-A'rāf: 31)
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga telah menetapkan keseimbangan dalam makan dan minum.
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah, tetapi jangan berlebih-lebihan dan jangan pula sombong."
(HR. Aḥmad, Abū Dāwūd, dan al-Bukhārī secara mu’allaq; sanadnya sahih)
Dari al-Miqdām bin Ma’dī Karib al-Kindī, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus (kenyang), maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas."
(HR. Aḥmad)
---
Banyak penyakit yang diderita umat manusia disebabkan oleh sikap berlebihan dalam makan dan minum.
Kelebihan makan adalah sebab utama obesitas, dan obesitas menyebabkan pengerasan pembuluh darah, penyakit jantung, hati berlemak, batu empedu, diabetes, varises, rematik pada lutut, tekanan darah tinggi, gangguan jiwa, dan dampak sosial lainnya.
Terlalu banyak makan juga menyebabkan gangguan serius pada sistem pencernaan, dari awal sampai akhir. Ini menyebabkan keluhan yang terus-menerus, stres, emosi yang tidak stabil, dan sering keluar masuk klinik dokter berbagai spesialisasi. Padahal, seandainya ia tahu bahwa semua itu disebabkan oleh sikap berlebihan dalam makan dan minum…
---
Langkah Ketiga: Anjuran untuk Menjaga Kebersihan Lingkungan
Kebersihan Rumah dalam Islam:
Rumah adalah kerajaan bagi keluarga dan merupakan sumber keindahan. Islam datang untuk menghiasi dunia dengan keindahan dan kesempurnaan, maka Islam menganjurkan kita untuk memperhatikan kebersihan rumah-rumah kita dan melarang kita meniru (menyerupai) orang-orang Yahudi.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Sa'ad رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan mencintai kebaikan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan, Maha Dermawan dan mencintai kedermawanan, Maha Pemurah dan mencintai kemurahan. Maka bersihkanlah halaman-halaman kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi."
(HR. At-Tirmidzi)
Anjuran untuk Tidak Mencemari Air:
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata, aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil di air yang diam (tidak mengalir), lalu ia mandi di dalamnya."
(Muttafaq 'alaih)
Dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما berkata:
_"Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 'Jauhilah tiga tempat yang mengundang laknat!' Para sahabat bertanya: 'Apakah tiga hal itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Yaitu apabila salah seorang dari kalian buang hajat di tempat yang dinaungi (oleh orang-orang), atau di jalan, atau di tempat genangan air.'"
(Diriwayatkan oleh Ahmad)
Anjuran untuk Menjaga Kebersihan Jalanan:
Agar jalanan tidak menjadi tempat berkembangnya serangga, mikroba, dan kuman.
Dari Abu Dzarr رضي الله عنه, dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Telah diperlihatkan kepadaku amalan-amalan umatku, yang baik dan yang buruk. Maka aku menemukan di antara kebaikan amal mereka adalah seseorang yang menyingkirkan gangguan dari jalan, dan aku menemukan di antara keburukan amal mereka adalah ludah di masjid yang tidak dikubur."
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga memerintahkan kita untuk menjaga makanan dan minuman serta melarang kita meninggalkannya tanpa penutup.
Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari رضي الله عنه berkata:
_"Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 'Tutuplah bejana dan ikatlah kantong air, karena sesungguhnya dalam satu tahun ada satu malam yang padanya turun wabah. Tidaklah ia melewati bejana yang tidak tertutup atau kantong air yang tidak terikat kecuali ia akan masuk ke dalamnya.'"
(Diriwayatkan oleh Ahmad)
Menjaga udara agar tidak tercemar:
Dari Abdullah bin 'Abbas رضي الله عنهما berkata:
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang bernapas dalam bejana atau meniup di dalamnya."
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Aku katakan perkataan ini, dan aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia untukku dan untuk kalian serta untuk seluruh kaum Muslimin dari segala dosa. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
---
Langkah Keempat: Pencegahan Lebih Baik daripada Pengobatan
Di antara kaidah yang dikenal oleh kalangan umum dan khusus adalah kaidah medis yang mengatakan: "Pencegahan lebih baik daripada pengobatan." Wahai hamba-hamba Allah, kaidah ini telah diterapkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam kenyataan. Beliau mendorong umatnya untuk mengambil sebab-sebab kewaspadaan dan kehati-hatian. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mensyariatkan yang dikenal dalam istilah modern sebagai karantina kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit menular.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya tentang kisah Umar bin Khattab رضي الله عنه,
Ketika beliau pergi ke Syam dan sampai di suatu tempat yang bernama "Sargh", dekat dengan Yarmuk, beliau bertemu dengan para panglima pasukan seperti Abu Ubaidah bin Jarrah dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka mengabarkan bahwa wabah telah terjadi di daerah Syam.
Maka Umar memanggil kaum Muhajirin yang pertama, lalu bermusyawarah dengan mereka, dan memberitahukan bahwa wabah telah terjadi. Mereka berbeda pendapat. Sebagian berkata: “Engkau telah keluar untuk suatu urusan, maka kami tidak melihat alasan untuk kembali.” Sebagian lain berkata: “Bersamamu ada sisa kaum dan para sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم, dan kami tidak ingin engkau membawa mereka ke wilayah yang terkena wabah.”
Lalu Umar berkata: “Berdirilah kalian.” Kemudian beliau memanggil kaum Anshar dan bermusyawarah, tetapi mereka juga berbeda pendapat seperti kaum Muhajirin.
Kemudian beliau memanggil para tokoh Quraisy yang telah masuk Islam pada masa penaklukan (Fathu Makkah), dan mereka tidak berbeda pendapat. Mereka berkata: “Kami berpendapat engkau sebaiknya kembali bersama orang-orang dan jangan membawa mereka menuju wabah.” Maka Umar pun menyerukan: "Pagi ini kita kembali, maka bersiaplah kalian untuk berangkat."
Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah berkata: “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: “Kalau saja yang mengatakan itu bukan kamu, wahai Abu Ubaidah! Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah juga. Tidakkah engkau melihat jika kamu memiliki unta yang turun ke suatu lembah yang memiliki dua sisi: satu sisi subur dan sisi lainnya tandus? Bukankah jika engkau menggembalakannya di sisi yang subur, maka engkau menggembalakan dengan takdir Allah, dan jika di sisi tandus juga dengan takdir Allah?”
Kemudian datang Abdurrahman bin ‘Auf, yang sebelumnya tidak hadir karena ada urusan. Ia berkata: “Saya memiliki pengetahuan tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 'Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di dalamnya, maka jangan keluar darinya untuk melarikan diri.'” Maka Umar memuji Allah dan kemudian kembali.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Umatku tidak akan binasa kecuali karena tikaman dan tha’un (wabah).” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui tentang tikaman. Lalu apakah itu tha’un?” Beliau menjawab: “Itu adalah benjolan seperti benjolan unta. Orang yang tetap tinggal di tempat wabah seperti seorang syahid, dan orang yang melarikan diri darinya seperti orang yang lari dari medan perang.”
Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Orang yang lari dari tha’un seperti orang yang lari dari medan perang, dan orang yang bersabar di dalamnya seperti orang yang bersabar di medan perang."
(Diriwayatkan oleh Ahmad)
Termasuk bentuk karantina dalam Islam adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Janganlah orang yang sakit mencampuri orang yang sehat."
(Yakni: pemilik hewan ternak yang sakit dilarang mencampurkannya dengan milik orang lain yang sehat agar tidak menular.)
Bahkan diriwayatkan oleh Muslim dari Asy-Syarid bin Suwaid رضي الله عنه, ia berkata:
"Dalam rombongan dari kabilah Tsaqif terdapat seorang yang terkena penyakit kusta. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengirim utusan kepadanya dan berkata: ‘Kembalilah, kami telah membaiatmu (dari jauh).’"
---
Langkah Kelima: Pengharaman Hal-Hal Buruk yang Membahayakan Akal atau Tubuh
Di antara sebab penjagaan dan pencegahan terhadap kesehatan, Allah سبحانه وتعالى mengharamkan atas kita dari makanan dan minuman yang membahayakan kesehatan.
Allah Ta’ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk serta membebaskan mereka dari beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”
(QS. Al-A’rāf: 157)
Tuhan kita جل وعلا telah mengharamkan secara tegas daging babi, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: Tidak aku dapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan oleh orang yang ingin memakannya, kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi — karena sesungguhnya itu najis.”
(QS. Al-An‘ām: 145)
Dan dari rahmat Allah kepada kita, serta kemudahan-Nya bagi kita, Dia menghalalkan kita makanan-makanan yang baik dan hanya mengharamkan yang buruk. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan Dia menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk.”
(QS. Al-A‘rāf: 157)
Adapun bahaya daging babi terhadap tubuh manusia, kedokteran modern telah membuktikan beberapa hal berikut:
• Babi membawa 450 jenis penyakit menular, termasuk 28 di antaranya sangat berbahaya, seperti: disentri, cacing askaris, keracunan botulinum, cacing hati, cacing pita babi, trikinosis, dan lainnya.
• Daging dan lemak babi berkontribusi terhadap penyebaran kanker usus besar, rektum, prostat, payudara, dan darah.
• Daging dan lemak babi menyebabkan obesitas dan penyakit-penyakitnya yang sulit diobati.
• Konsumsi daging babi menyebabkan gatal-gatal, alergi, dan tukak lambung.
• Menyebabkan infeksi paru-paru akibat cacing pita dan cacing paru-paru.
• Bahaya terbesar daging babi adalah karena ia mengandung cacing pita yang dapat tumbuh sepanjang 2–3 meter. Jika telur cacing ini tumbuh di otak manusia, maka akan menyebabkan penyakit kegilaan dan histeria.
---
Shalawatlah wahai hamba-hamba Allah, dan bersalam-lah kepada Nabi Muhammad...
🖊️Diterjemahkan dari:
https://www.alukah.net/sharia/0/118576/
✍🏼MHA El kanzu🏡 Nangkas - Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 13:05 WIB
📝19 Dzulqa'dah 1446 H / 18 Mei 2025
Sabtu, 19 April 2025
Perintah Menjamu Tamu
Olahraga Jalan Kaki
Jalan Tanpa Alas Kaki (kaki ayam / nyeker)
Pertanyaan:
هل المشي حافياً سُنَّة؟
Apakah berjalan tanpa alas kaki termasuk sunnah?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dalam as-Sunan (no. 4160), dan oleh Ahmad dalam al-Musnad (no. 23969), dari 'Abdullāh bin Buraydah, bahwa:
Seorang laki-laki dari sahabat Nabi AE Shallallāhu 'alaihi wa sallam melakukan perjalanan menuju Fadālah bin 'Ubayd yang saat itu berada di Mesir. Lalu ia menemuinya, dan berkata: “Sungguh aku datang kepadamu bukan sebagai seorang yang ingin berkunjung (biasa), tetapi karena aku dan engkau telah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya.” Fadālah bertanya: “Hadits apa itu?.
Lalu ia pun menyebutkan hadits itu (isi hadits tidak disebut secara rinci di sini). Kemudian ia berkata lagi: “Mengapa aku melihatmu tampak kusut, padahal engkau adalah pemimpin (amir) negeri ini?”
Fadālah menjawab:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الإِرْفَاهِ .
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari banyak bentuk kemewahan (irfāh).”
Ia bertanya lagi: “Kenapa aku tidak melihat engkau memakai alas kaki?”
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا
Maka Fadālah menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallāhu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami agar sesekali berjalan tanpa alas kaki (berkaki ayam).”
Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāni dalam Ṣaḥīḥ Abī Dāwūd.
Penjelasan:
Ibnul Atsīr berkata dalam an-Nihāyah (2/247):
> Kata "الإِرْفَاهِ" (al-irfāh) maksudnya adalah terlalu banyak meminyaki (tubuh) dan hidup mewah. Ada pula yang mengatakan: memperluas diri dalam hal minuman dan makanan. Kata ini berasal dari “الرفه” yaitu air yang didatangi unta kapan saja ia mau—yakni hidup dalam kenyamanan dan kemewahan tanpa batas.
Maksudnya adalah: meninggalkan sikap memanjakan diri, bersantai-santai, dan hidup serba nyaman; karena itu termasuk gaya hidup bangsa 'ajam (non-Arab) dan orang-orang duniawi.
Sabda Nabi:
“كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا”
Maknanya: beliau memerintahkan agar kadang-kadang kita berjalan tanpa alas kaki.
Sebagian ulama menyatakan bahwa dianjurkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.
Hikmahnya:
• Melatih diri untuk hidup keras dan sederhana
• Menghindarkan dari sikap santai berlebihan
• Membiasakan diri dengan kezuhudan dan tidak tertarik pada kemewahan dunia
al-Qārī rahimahullāh berkata dalam Mirqāt al-Mafātīḥ (7/2827):
“(نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا): maksudnya adalah kami berjalan tanpa alas kaki, sebagai bentuk tawadhu’, merendahkan jiwa, dan agar seseorang terbiasa jika suatu saat harus melakukannya dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, diperintahkan hanya sesekali (أحيانًا), bukan terus-menerus.”
Ibnu ‘Abdil Qawī rahimahullāh berkata dalam syairnya (dalam Manzhūmah):
وَسِرْ حَافِيًا أَوْ حَاذِيًا وَامْشِ وَارْكَبَنْ
تَمَعْدَدْ وَاِخْشَوْشِنْ وَلَا تَتَعَوَّدِ
"Berjalanlah engkau tanpa alas kaki atau dengan alas kaki, berjalanlah atau berkendaralah.
Biasakan hidup sederhana dan keras, dan jangan membiasakan diri hidup manja."
Imam as-Saffārīnī rahimahullāh berkata:
"(وَسِرْ) dalam keadaan engkau (حَافِيًا) tanpa alas kaki, sesekali, sebagai bentuk meneladani Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. (أَوْ) berjalanlah dalam keadaan (حَاذِيًا) yaitu memakai alas kaki.”
(Selesai dari Ghidhā’ al-Albāb, 2/340)
---
Syaikh Ibn ‘Utsaimīn rahimahullāh berkata:
> *“Memakai sandal (alas kaki) termasuk sunnah, dan berjalan tanpa alas kaki pun termasuk sunnah. Oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang dari terlalu banyak bermewah-mewahan (الإرفاه), dan beliau memerintahkan agar sesekali berjalan tanpa alas kaki.
Maka sunnahnya adalah seseorang memakai alas kaki—tidak mengapa—tetapi sebaiknya juga sesekali berjalan tanpa alas kaki di tengah-tengah manusia, agar tampak sunnah ini, yang kadang-kadang justru dicela oleh sebagian orang. Jika mereka melihat seseorang berjalan tanpa alas kaki, mereka berkata: 'Apa ini? Orang ini orang bodoh!' Padahal ini keliru. Karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu banyak bermewah-mewahan, dan memerintahkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.”*
(Selesai dari Syarḥ Riyāḍ aṣ-Ṣāliḥīn, 6/387)
Kesimpulannya:
Disunnahkan bagi seseorang untuk berjalan tanpa alas kaki sesekali, selama tidak menimbulkan bahaya atau mudarat.
---
al-Munāwī rahimahullāh berkata:
> *“Jika seseorang aman dari najis yang bisa mengenainya—seperti berjalan di atas tanah berpasir, dan tidak membahayakannya—maka hal itu dianjurkan (mustahabb) sesekali, yakni berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya adalah untuk merendahkan diri dan mendidik jiwa.
Oleh karena itu disebutkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan baik dengan alas kaki maupun tanpa alas kaki, dan para sahabat juga biasa berjalan dengan atau tanpa alas kaki.”*
(Selesai dari Fayḍ al-Qadīr, 1/317)
---
Syaikh ‘Abdul Muḥsin al-‘Abbād ḥafiẓahullāh berkata:
> *“Jika kondisi tanah menuntut seseorang untuk memakai alas kaki, maka hendaknya ia memakai alas kaki. Misalnya jika tanah tersebut mengandung pecahan kaca, besi, bebatuan tajam, duri, atau panas terik karena matahari—maka hendaknya ia memakai pelindung yang telah Allah karuniakan kepadanya, yaitu dengan menggunakan alas kaki.
Namun, sesekali tidak memakai alas kaki—itulah yang disebutkan dalam hadits dari Faḍālah bin ‘Ubayd dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kami untuk sesekali berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya agar tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan dan kenyamanan, serta agar terbiasa dengan sedikit kekasaran dan kesederhanaan. Tapi hal ini bukan dilakukan secara terus-menerus, melainkan hanya dilakukan sesekali.”
(Selesai dari Syarḥ Sunan Abī Dāwūd, 23/273; versi al-Maktabah asy-Syāmilah)
Ringkasan Jawaban:
Kesimpulannya: berjalan tanpa alas kaki sesekali adalah bagian dari sunnah, namun hal ini dibatasi dengan syarat tidak menimbulkan ketenaran yang tercela bagi orang yang melakukannya di suatu daerah.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa jika seseorang adalah panutan di negerinya dan dikenal sebagai orang berilmu, maka boleh baginya berjalan tanpa alas kaki di hadapan manusia, karena mereka akan mengetahui bahwa hal itu termasuk sunnah.
Adapun jika seseorang bukan termasuk orang semacam itu, dan dikhawatirkan akan menjadi bahan cibiran orang-orang, maka cukup baginya melakukannya di rumah, atau di tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang awam.
والله تعالى أعلم (Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.)
Referensi:
Diterjemahkan dari : https://islamqa.info/ar/answers/235106/
Partnership : App Chatgpt
✍🏼MHA El kanzu
🏡 Suco - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 08:10WIB
📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M
Senin, 14 April 2025
Suara Burung Bulbul (صوت صفير البلبل الخليفة)
"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul" (Suara Burung Bulbul)
Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, ingin membatasi pemberian hadiah kepada para penyair. Ia dikenal sebagai seseorang yang bisa menghafal syair hanya dari sekali mendengarnya. Ia juga memiliki seorang pelayan laki-laki (ghulām) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya dua kali, dan seorang pelayan perempuan (jāriyah) yang mampu menghafal syair setelah mendengarnya tiga kali.
Maka, para penyair menyusun syair-syair panjang, mengarangnya selama satu malam, dua malam, bahkan tiga malam. Setelah selesai, mereka pun mempersembahkannya kepada khalifah. Namun ketika mereka membacakannya, khalifah akan berkata kepada mereka:
“Aku telah mendengar syair ini sebelumnya.”
“Jika itu adalah karanganmu sendiri, maka engkau akan diberi imbalan emas seberat tulisan syair itu. Namun jika itu adalah hasil kutipan dari orang lain, maka kami tidak akan memberimu apa pun.”
Maka sang penyair pun membacakan syairnya kepada khalifah, dan khalifah langsung menghafalnya dari pertama kali mendengarnya. Lalu khalifah berkata, “Aku telah menghafalnya sejak lama.”
Kemudian khalifah membacakannya kembali, dan memanggil seorang pelayan laki-laki yang juga hafal syair itu, dan ia pun membacakannya secara lengkap. Lalu dipanggillah seorang gadis pelayan yang mendengarkan syair itu sebanyak tiga kali, dan ia pun mampu mengulanginya secara lengkap.
Sang penyair pun mulai ragu terhadap dirinya sendiri dan berpikir, “Mungkinkah aku hanya mengutip syair ini dari orang lain tanpa sadar?” Demikian pula yang terjadi pada semua penyair lainnya. Akhirnya mereka semua merasa depresi.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah Al-Aṣmaʿī kepada mereka. Maka mereka pun mengadu padanya tentang apa yang terjadi. Mereka berkata, “Kami bersusah payah menyusun syair semalaman dengan pikiran dan tenaga sendiri, tapi ternyata ada tiga orang yang sudah hafal sebelum kami menyampaikannya!”
Lalu Al-Aṣmaʿī berkata, “Apakah benar kejadian ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ia bertanya, “Di mana?”
Mereka menjawab, “Di istana Amirul Mu’minin.”
Maka ia berkata, “Serahkan urusan ini padaku.”
Al-Aṣmaʿī pun menyusun sebuah syair yang penuh dengan keragaman tema dan gaya, lalu ia menyamar sebagai seorang badui dan datang menghadap khalifah untuk membacakan syairnya.
Khalifah pun berkata, “Apakah kamu tahu syaratnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Khalifah berkata, “Sampaikan syairmu!” Maka ia pun membacanya…
صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ
هَيَّجَ قَلْبِي الثَّمِلِ
Suara kicauan burung bulbul,
Telah menggugah hatiku yang mabuk cinta.
الْمَاءُ وَالزَّهْرُ مَعًا
مَعَ زَهْرِ لَحْظِ الْمُقَلِّ
Air dan bunga bersatu indahnya,
Bersama pandangan mata si jelita nan memesona.
وَأَنْتَ يَا سَيِّدَ لِي
وَسَيِّدِي وَمَوْلِيَ لِي
Dan engkaulah tuanku,
Tuanku dan juga kekasihku.
فَكَمْ فَكَمْ تَيَّمَنِي
غُزَيْلٌ عَقِيقَلِي
Betapa seringnya membuatku tergila-gila,
Seekor rusa mungil nan manis bagai akik merah.
قَطَّفْتُهُ مِنْ وَجْنَةٍ
مِنْ لَثْمِ وَرْدِ الْخَجَلِ
Kupetik ia dari pipi merah merona,
Seperti mencium bunga malu-malu.
فَقَالَ لَا لَا لَا لَا لَا
وَقَدْ غَدَا مُهَرْوِلِي
Ia pun berkata: “Tidak, tidak, tidak, tidak!”,
Namun malah berlari mendekatiku.
وَالْخُوذُ مَالَتْ طَرَبًا
مِنْ فِعْلِ هٰذَا الرَّجُلِ
Dan helm-helm pun condong karena gembira,
Melihat perbuatan lelaki ini yang luar biasa.
فَوَلْوَلَتْ وَوَلْوَلَتْ
وَلِي وَلِي يَا وَيْلَلِي
Mereka pun berteriak dan merintih pilu,
“Aduh, celaka! Wahai malangnya aku!”
فَقُلْتُ لَا تُوَلْوِلِي
وَبِينِي اللُّؤْلُؤَ لِي
Lalu aku berkata, “Janganlah merintih begitu,
Berikan saja mutiara (kata manis) itu kepadaku.”
قَالَتْ لَهُ حِينَ كَذَا
اِنْهَضْ وَجُدْ بِالنُّقَلِ
Dia pun berkata padanya saat itu juga,
“Berdirilah dan berilah permen manis sebagai hadiah.”
وَفِتْيَةٍ سَقَوْنَنِي
قَهْوَةً كَالْعَسَلِلِي
Dan para pemuda pun menyuguhiku,
Kopi manis laksana madu.
شَمَمْتُهَا بِأَنْفِي
أَزْكَى مِنَ الْقُرَنْفُلِ
Kuhirup dengan hidungku aromanya yang harum,
Lebih wangi dari bunga cengkeh yang semerbak.
فِي وَسَطِ بُسْتَانٍ حُلِي
بِالزَّهْرِ وَالسُّرُورِ لِي
Di tengah kebun yang indah permai,
Penuh bunga dan kebahagiaan yang membuat hati damai.
وَالْعُودُ دَنْدَنَ دَنَا لِي
وَالطَّبْلُ طَبْطَبَ طَبَّ لِي
Alat musik ‘ūd berdendang mendekatiku,
Dan genderang berdetak-detak menemaniku.
طَبْ طَبْطَبْ طَبْ طَبْطَبْ
طَبْ طَبْطَبْ طَبْطَبْ طَبْ لِي
“Tab-tabtab, tab-tabtab,”
Tabuhan riang yang mengiringiku.
وَالسَّقْفُ سَقْ سَقْ سَقْ لِي
وَالرَّقْصُ قَدْ طَابَ إِلَيَّ
Langit-langit pun ikut berderak, “sak-sak-sak”,
Dan tarian menjadi semakin menggembirakan.
شَوَى شَوَى وَشَاهِشْ
عَلَى وَرَقِ سِفْرَجَلِ
Dendangan “shawā shawā wa shāhish” pun terdengar,
Di atas daun pohon quince yang lebar.
وَغَرَّدَ الْقُمْرِيُّ يَصِيحُ
مَلَلْ فِي مَلَلِلِ
Burung tekukur pun berkicau lantang,
“Bosaaaan… bosan yang panjang.”
وَلَوْ تَرَانِي رَاكِبًا
عَلَى حِمَارٍ أَهْزَلِ
Andaikan kau lihat aku menaiki,
Seekor keledai kurus yang letih sekali.
يَمْشِي عَلَى ثَلَاثَةٍ
كَمِشْيَةِ الْعَرَنْجَلِي
Berjalan dengan tiga kaki,
Seperti gaya jalannya orang berpenyakit aneh sekali.
---
وَالنَّاسُ تَرْجُمُ جَمَلِي
فِي السُّوقِ بِالْقُلْقُلِلِي
Orang-orang melempar unta milikku,
Di pasar ramai dengan bunyi gaduh bertalu-talu.
وَالْكُلُّ كَعْكَعْ كَعِكَعْ
خَلْفِي وَمِنْ حُوَيْلَلِي
Dan semua orang ribut berisik di belakangku,
Juga di sekeliling kanan dan kiriku.
لَكِنْ مَشَيْتُ هَارِبًا
مِنْ خَشْيَةِ الْعَقْنَقَلِي
Tapi aku pun lari terbirit-birit,
Karena takut pada “al-‘aqnaqali” yang mengancam seperti petir.
إِلَى لِقَاءِ مَلِكٍ
مُعَظَّمٍ مُبَجَّلِ
Menuju pertemuan dengan seorang raja,
Yang agung dan sangat mulia.
يَأْمُرُ لِي بِخِلْعَةٍ
حَمْرَاءَ كَالْدَّمْ دَمَلِي
Ia pun memerintah agar aku diberi pakaian kehormatan,
Berwarna merah laksana darah mengalir dalam kehidupan.
أَجُرُّ فِيهَا مَاشِيًا
مُبَغْدِدًا لِلذَّيْلِلِي
Aku berjalan menjuntaikan ujung jubah itu dengan gagah,
Berlenggak-lenggok penuh wibawa dan indah.
أَنَا الْأَدِيبُ الْأَلْمَعِي
مِنْ حَيِّ أَرْضِ الْمَوْصِلِ
Akulah sastrawan yang brilian nan cemerlang,
Dari kampung halaman di tanah Mosul yang tenang.
نَظَمْتُ قِطْعًا زُخْرِفَتْ
يَعْجِزُ عَنْهَا الْأَدْبُلِي
Telah kususun bait-bait berhias indah menawan,
Sampai sastrawan terbaik pun tak mampu menyamai keindahan.
أَقُولُ فِي مَطْلَعِهَا
صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُلِ
Kubuka bait ini dengan ucapan penuh seni:
*"Ṣawtu Ṣafīril-Bulbulī" — Suara kicau
an burung bulbul yang berseri.
Saat itu Amirul Mukminin pun terkejut dan kebingungan.
Ia berkata, “Wahai ghulām, wahai jāriyah!”
Keduanya menjawab, “Kami belum pernah mendengar bait-bait ini sebelumnya, wahai Tuanku.”
Maka sang khalifah berkata, “Tunjukkan tempat engkau menuliskan syair ini, agar kami timbang dan kami berikan emas seberat itu.”
Sang penyair menjawab, “Aku mewarisi sebatang tiang marmer dari ayahku, dan aku telah menulis syair ini di atasnya. Tiang itu kini berada di atas punggung untaku. Tak akan mampu mengangkatnya kecuali sepuluh prajurit.”
Lalu mereka membawanya, dan benar—tiang marmer itu ditimbang, dan seluruh beratnya dibayar dengan emas.
Maka sang wazir pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku yakin bahwa orang ini tak lain adalah al-Aṣma‘ī.”
Sang khalifah pun berkata, “Bukalah cadarmu, wahai orang Arab dusun!”
Lalu ia membuka penutup wajahnya, dan ternyata benar—ia adalah al-Aṣma‘ī.
Khalifah pun berkata, “Apakah kau mempermainkan Amirul Mukminin seperti ini, wahai al-Aṣma‘ī?”
Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah memutus rezeki para penyair dengan caramu ini.”
Khalifah berkata, “Kembalikanlah emas itu, wahai al-Aṣma‘ī.”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Aku tidak akan mengembalikannya.”
Khalifah kembali berkata, “Kembalikanlah.”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Dengan satu syarat.”
Khalifah bertanya, “Apa itu?”
Al-Aṣma‘ī menjawab, “Agar engkau memberikan hak kepada para penyair atas apa yang mereka karang maupun yang mereka kutip.”
Khalifah pun berkata, “Engkau mendapatkan apa yang engkau minta.”
Kisah ini menunjukkan kecerdikan al-Aṣma‘ī dan hikmah di baliknya: bahwa karya sastra, baik ciptaan orisinal maupun kutipan, layak dihargai.
__________________________________________
Berikut biografi singkat tentang Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan al-Aṣma‘ī:
1. Abu Ja‘far al-Manshūr (أبو جعفر المنصور)
Nama lengkap: ʿAbdullāh ibn Muḥammad ibn ʿAlī ibn ʿAbdillāh
Gelar: Abu Ja‘far al-Manshūr
Lahir: Tahun 95 H / 714 M
Wafat: Tahun 158 H / 775 M
Kekhalifahan: 136–158 H / 754–775 M
Dinasti: Bani Abbasiyah (Khalifah kedua setelah As-Saffah)
Keistimewaan dan peran:
Pendiri sejati kekhalifahan Abbasiyah: Meskipun as-Saffāḥ adalah khalifah pertama Abbasiyah, namun al-Manshūr yang meletakkan fondasi pemerintahan yang kokoh.
Pendiri kota Baghdad (145 H): Kota ini menjadi ibu kota kekhilafahan dan pusat ilmu pengetahuan Islam dunia.
Terkenal cerdas dan tegas: Ia hafal syair dari sekali dengar dan menguji para penyair yang datang padanya.
Mendukung ilmu dan ilmuwan, namun juga dikenal keras terhadap lawan politik dan pemberontak.
---
2. Al-Aṣma‘ī (الأصمعي)
Nama lengkap: ʿAbd al-Malik ibn Quraib al-Aṣmaʿī (عبد الملك بن قريب الأصمعي)
Lahir: Sekitar 122 H / 740 M
Wafat: Sekitar 216 H / 831 M
Asal: Basrah, Irak
Madhhab fiqh: Sunni
Keistimewaan dan peran:
Ahli bahasa Arab, sastra, dan syair klasik dari masa awal Abbasiyah.
Guru besar dalam nahwu, lughah, dan adab; sering diundang ke istana khalifah untuk membacakan syair dan menjelaskan bahasa Arab klasik.
Termasuk dalam kelompok “Ruwāt al-shi‘r”, yakni para perawi syair Arab Jahiliyyah dan Islam awal.
Dekat dengan khalifah Harun ar-Rashid dan al-Mahdi, namun juga dikenal sejak zaman al-Manshūr.
Karya-karyanya:
Al-Aṣma‘iyyāt – kumpulan syair Arab klasik.
Kitāb al-Khayl – tentang kuda Arab.
Kitāb al-Ibil – tentang unta.
*Kitāb al-Sha’ir wa al-Shu‘arā’ – tentang para penyair dan syair mereka.
Al-Aṣma‘ī juga dikenal sebagai tokoh cerita humor, kecerdikan, dan sindiran, seperti dalam kisah Ṣawtu Ṣafīril-Bulbul di atas.
Referensi:
Diterjemahkan dari : https://ar.m.wikisource.org/wiki
Partnership : App Chatgpt
✍🏼MHA El kanzu
🏡 Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 14:55 WIB
📝13 Syawal 1446 H / 14 April 2025 M