Alhamdulillah
Kajian Hadits Tematik
Judul : Memuliakan Tamu dalam Sunnah Nabawiyyah
Penulis: IslamWeb
Klasifikasi: Hadits Tematik (al-ḥadīts al-mawḍū‘ī)
Orang-orang Arab sebelum datangnya Islam sangat menjaga akhlak mulia seperti kejujuran, keberanian, dan perlindungan terhadap tetangga. Mereka saling berlomba-lomba dalam hal itu dan saling membanggakannya. Kehilangan sifat-sifat mulia itu mereka anggap sebagai aib yang memalukan bagi seorang laki-laki dan sulit dilupakan.
Kemudian datanglah Islam, dan Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia yang telah ada di tengah mereka dan menyucikannya. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik."
(HR. Aḥmad dan dishahihkan oleh al-Albānī)
Al-Munāwī dalam Mirqāt al-Mafātīḥ berkata:
“Al-Bayḍāwī berkata: Orang-orang Arab memiliki akhlak yang baik karena masih tersisa dari ajaran Nabi Ibrāhīm ‘alaihis salām. Namun mereka tersesat dari banyak bagian ajaran tersebut karena kekufuran. Maka diutuslah Nabi Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Di antara akhlak mulia yang baik itu adalah: memuliakan tamu (إكرام الضيف).
Dalam Sunnah Nabawiyah, terdapat sejumlah hadits yang memperhatikan topik memuliakan tamu, menjelaskan hak tamu atas tuan rumah, batasan hak tersebut, dan keutamaan yang diperoleh dari menunaikannya.
Contoh dari sunnah fi‘liyyah (perbuatan Nabi): Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai sosok yang memuliakan tamu bahkan sebelum diutus sebagai nabi. Ketika beliau kembali dalam keadaan takut dari Gua Ḥirā setelah pertemuannya dengan Jibrīl ‘alaihis salām, beliau berkata kepada Khadījah:
"Wahai Khadījah, ada apa denganku? Sungguh aku khawatir akan diriku.”
Lalu beliau menceritakan peristiwa itu kepada Khadījah, dan Khadījah berkata:
"Sekali-kali tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, jujur dalam ucapan, menanggung beban orang lain, memberikan kepada yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong dalam perkara-perkara kebenaran.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Al-Qasṭallānī dalam Irsyād al-Sārī menjelaskan:
"Wa tuqrī al-ḍayf" artinya: Engkau menyediakan makanan dan tempat tinggal untuk tamu.
Pentingnya Memuliakan Tamu (إكرام الضيف):
Tampak jelas betapa pentingnya memuliakan tamu dari berbagai sisi. Di antaranya:
1. Perintah Nabi dan Kaitan dengan Iman:
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk memuliakan tamu dan mengaitkannya langsung dengan iman kepada Allah dan hari akhir. Beliau bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya; barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
2. Tamu Memiliki Hak atas Tuan Rumah:
Dalam hadits dari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallāhu ‘anhumā, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya:
"Dan sesungguhnya tamumu memiliki hak atasmu."
(HR. al-Bukhārī)
Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ al-Bārī menjelaskan:
"Lazaurika" (لِزَوْرِكَ) dengan fathah pada huruf zāy, maksudnya: tamumu.
Juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Malam bagi tamu adalah hak atas setiap Muslim. Siapa pun yang pagi hari mendapati tamu di pekarangan rumahnya, maka itu menjadi tanggungan utang atasnya—jika ia mau ia tuntut, dan jika mau ia biarkan."
(HR. Abū Dāwūd; dishahihkan oleh al-Albānī)
Dan beliau juga bersabda:
"Jika kalian singgah di suatu kaum dan mereka memberikan apa yang patut untuk seorang tamu, maka terimalah. Jika mereka tidak memberikan, maka ambillah dari mereka hak tamu yang seharusnya kalian dapatkan."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
3. Banyaknya Keutamaan dalam Sunnah:
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, adanya banyak keutamaan dan pahala yang disebutkan dalam hadits-hadits tentang memuliakan tamu menunjukkan pentingnya amalan ini tanpa keraguan.
Keutamaan Memuliakan Tamu (فضل إكرام الضيف):
Sesungguhnya akhlak mulia—termasuk memuliakan tamu—adalah sebab datangnya berbagai kebaikan dan keutamaan. Dengannya, seseorang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan juga kebaikan di akhirat jika ia mengharap pahala dari Allah. Di antara keutamaan yang diperoleh dari memuliakan tamu:
1. Mendapat Taufik dan Terhindar dari Kehinaan:
Dalam hadits ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, disebutkan bahwa Khadījah menenangkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan bersumpah bahwa Allah tidak akan menghinakannya karena akhlaknya yang mulia—di antaranya memuliakan tamu. Khadijah berkata:
"Tidak, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau menyambung silaturahmi, berkata jujur, memikul beban orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam perkara kebenaran."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
2. Salah Satu Sebab Masuk Surga:
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Wahai sekalian manusia! Sebarkan salam, berilah makan (kepada orang lain), dan shalatlah saat orang-orang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat."
(HR. at-Tirmiżī, Ibn Mājah; dishahihkan oleh al-Albānī)
3. Mendapat Kenikmatan Khusus di Surga:
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luarnya, dan luarnya terlihat dari dalamnya."
Seorang Arab Badui bertanya: "Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?"
Beliau menjawab:
"Untuk orang yang perkataannya baik, memberi makan (kepada orang lain), dan shalat karena Allah di malam hari saat orang-orang tidur."
(HR. Ahmad; dihasankan oleh al-Arnā’ūṭ)
4. Memuliakan tamu adalah amal yang dicintai Allah.
Hal ini ditunjukkan dalam kisah menakjubkan yang disebutkan dalam hadits, bahwa Allah terheran-heran (atau tertawa) terhadap perbuatan sepasang suami istri yang memuliakan tamunya dengan penuh pengorbanan.
Dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
Seorang lelaki datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu beliau mengutus seseorang ke rumah-rumah istrinya untuk mencari makanan. Para istri Nabi mengatakan: "Kami tidak memiliki apa-apa selain air."
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Siapa yang mau menjamu tamu ini?"
Seorang lelaki dari Anshār berkata: "Saya."
Lalu ia membawa tamu itu ke rumahnya dan berkata kepada istrinya:
"Muliakanlah tamu Rasulullah صلى الله عليه وسلم."
Sang istri menjawab: "Kita hanya memiliki makanan untuk anak-anak kita."
Ia pun berkata: "Siapkanlah makananmu, nyalakan lampumu, dan tidurkan anak-anakmu jika mereka meminta makan."
Lalu ia menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anak mereka.
Kemudian ia berdiri seolah-olah sedang memperbaiki lampu, lalu memadamkannya.
Mereka pun duduk bersama tamunya, seolah-olah mereka ikut makan bersamanya, padahal keduanya menahan lapar semalaman.
Keesokan paginya, lelaki itu mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu beliau bersabda:
“Allah tertawa (atau kagum) terhadap perbuatan kalian berdua malam tadi.”
Kemudian turunlah ayat:
﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾
"Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan."
(QS. Al-Ḥasyr: 9)
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Catatan makna:
“أصبحي سراجك” maksudnya: nyalakan lampumu.
“فباتا طاويين” artinya: mereka tidur dalam keadaan lapar, tidak makan malam.
(Ibnu Ḥajar – Fatḥ al-Bārī)
Catatan penting:
Meskipun memuliakan tamu adalah akhlak yang sangat mulia, pahala akhirat tidak akan diperoleh kecuali jika pelakunya adalah seorang Muslim.
‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata:
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, Ibn Jud‘ān di masa jahiliah suka menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin. Apakah itu bermanfaat baginya?"
Beliau menjawab:
“Tidak bermanfaat baginya, karena ia tidak pernah mengatakan: ‘Ya Rabb, ampunilah dosaku di Hari Pembalasan.’”
(HR. Muslim)
Dalam riwayat lain: "Ia membebaskan tawanan dan memuliakan tamu." — namun tetap tidak bermanfaat karena ia tidak beriman kepada Allah.
Diantara Adab dan Hukum Memuliakan Tamu
Dalam sunnah Nabi terdapat banyak adab dan hukum yang perlu diperhatikan ketika memuliakan tamu. Di antaranya adalah:
1. Hak tamu dalam jamuan adalah tiga hari, dan jika lebih dari itu maka termasuk sedekah dari tuan rumah.
Dari Abū Syarīḥ al-‘Adawī radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya dengan jaizah-nya."
Ada yang bertanya: “Apa itu jaizah wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
"Sehari semalam, dan jamuan untuk tamu adalah tiga hari. Selebihnya adalah sedekah atasnya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Al-Khaṭṭābī rahimahullāh berkata dalam A‘lām al-Ḥadīth:
Makna sabda beliau: "Jaizatuhu yauman wa laylah" (Jaizahnya sehari semalam), maksudnya: tuan rumah berusaha memberikan yang terbaik kepada tamunya selama sehari semalam, menjamunya dan memberikan perhatian khusus melebihi hari-hari lainnya.
Adapun dua hari berikutnya, cukup diberikan apa yang tersedia, tanpa berlebihan. Maka setelah tiga hari, habislah hak tamu, dan jika tuan rumah menjamunya lebih dari itu, maka ia mendapatkan pahala sedekah.
---
2. Tuan rumah tidak perlu memaksakan diri menjamu tamu dengan sesuatu yang tidak ia miliki.
Dari Salmān al-Fārisi radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki datang menemuinya, lalu ia menjamunya dengan apa yang ia miliki.
Kemudian ia berkata:
"Sekiranya bukan karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kami, atau sekiranya kami tidak dilarang, untuk saling memberatkan diri dalam menjamu tamu, tentu kami akan mencarikan yang lebih baik untukmu."
(HR. Aḥmad – dinilai kuat oleh al-Albānī karena penguat-penguatnya)
Al-Hafizh Ibn Rajab dalam Jāmi' al-‘Ulūm wa al-Ḥikam berkata:
"Ini menunjukkan bahwa tidak wajib bagi tuan rumah untuk memberikan sesuatu yang berlebihan untuk tamu kecuali dengan apa yang dimiliki. Jika ia tidak memiliki lebih, maka tidak ada kewajiban apa pun. Adapun jika ia mengutamakan tamunya seperti yang dilakukan oleh seorang Anṣārī yang disebutkan dalam ayat {ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة}, maka itu adalah suatu kedudukan yang mulia dan kebaikan, bukanlah sesuatu yang wajib."
Al-Nawawi dalam Sharḥ Muslim beliau berkata:
"Sejumlah salaf membenci memaksakan diri untuk menjamu tamu, dan ini dimaknai untuk situasi yang memberikan beban berat bagi tuan rumah, karena hal itu dapat menghalangi keikhlasan dan kebahagiaan yang sempurna terhadap tamu. Bisa jadi ada sesuatu yang dilakukan oleh tuan rumah yang menunjukkan bahwa ia sedang memaksakan diri untuk tamu, dan hal ini bisa membuat tamu merasa tidak nyaman atau kasihan terhadapnya. Semua ini bertentangan dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: 'Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya,' karena cara memuliakan yang terbaik adalah dengan membuat tamu merasa nyaman dan menunjukkan kebahagiaan kepadanya."
"Tidak termasuk dalam memuliakan tamu apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa pencitraan atau pemborosan, yang dilakukan hanya untuk pamer dan riya kepada orang lain, serta mencari popularitas. Padahal, semua hadits menunjukkan bahwa memuliakan tamu adalah ibadah yang mengharap wajah Allah, bahkan bagian dari iman yang diperintahkan oleh Islam. Bagaimana mungkin suatu amalan yang merupakan bentuk ibadah bisa berubah menjadi dosa karena pemborosan dan riya yang bertentangan dengan prinsip ibadah."
3. Menyiapkan Rumah untuk Menyambut Tamu jika Mereka Datang
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"Satu tempat tidur untuk suami, satu untuk istri, yang ketiga untuk tamu, dan yang keempat untuk setan."
(HR. Muslim)
Al-Qurṭubī dalam al-Mufhim berkata:
"Adapun tempat tidur untuk tamu, maka tuan rumah harus mempersiapkannya, karena itu bagian dari memuliakan tamu dan menjalankan haknya."
4. Melayani Tamu dengan Tangan Sendiri
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata:
"Abu Asīd al-Sā’idī mengundang Nabi صلى الله عليه وسلم ke acara pernikahannya, dan pada waktu itu istrinya adalah seorang pembantu mereka, meskipun dia adalah pengantin wanita."
(HR. al-Bukhārī dalam al-Adab al-Mufrad, dan disahihkan oleh al-Albānī)
Wasiat Qais bin Khafāf bin ‘Amr kepada putranya Jubayl:
> أَجُبَيْلُ إِنَّ أَبَاكَ كَارِمُ يَوْمِهِ # فَإِذَا دُعِيتَ إِلَى الْمَكَارِمِ فَاعْجَلِ
"Wahai Jubayl, sungguh ayahmu senantiasa memuliakan harinya,
maka jika engkau diajak kepada kemuliaan, segeralah menyambutnya."
> أُوصِيكَ إِيْصَاءَ امْرِئٍ لَكَ نَاصِحٍ # ظَنَّ بَغِيَّهُ الدَّهْرَ غَيْرَ مُعَقَّلِ
"Aku menasihatimu seperti orang tulus memberi wasiat,
yang menyangka zaman akan selalu bengkok dan tak terkendali."
> اللَّهَ فَاتَّقِهِ وَأَوْفِ بِنَذْرِهِ # وَإِذَا حَلَفْتَ مُمارِيًا فَتَحَلَّلِ
"Bertakwalah kepada Allah dan penuhilah nadzarmu,
dan jika engkau bersumpah dalam perdebatan, maka carilah jalan keluar darinya."
> وَالضَّيْفَ تُكْرِمْهُ فَإِنَّ مَبِيتَهُ # حَقٌّ وَلَا تَكُ لَعْنَةً لِلنُّزُلِ
"Dan muliakanlah tamumu, karena menginapkannya adalah hak,
dan janganlah engkau menjadi kutukan bagi para tamu yang datang."
> وَاعْلَمْ بِأَنَّ الضَّيْفَ مُخْبِرُ أَهْلِهِ # بِمَبِيتِ لَيْلَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُسْأَلِ
"Ketahuilah bahwa tamu pasti akan memberitahu keluarganya
tentang malam yang ia lalui, walaupun tidak ditanya."
---
Kisah Syair Qais bin ‘Āṣim:
Suatu ketika Qais menikahi seorang wanita, lalu istrinya menyuguhkan makanan kepadanya. Ia pun berkata:
"Di mana teman makanku?"
Namun istrinya tak paham maksudnya, *lalu ia menggubah bait syair:*
إِذَا مَا صَنَعْتِ الزَّادَ فَالْتَمِسِي لَهُ # أَكِيلًا فَإِنِّي لَسْتُ آكُلُهُ وَحْدِي
"Jika engkau menyiapkan makanan, maka carilah teman makan,
karena aku tak akan memakannya sendirian."
أَخًا طَارِقًا أَوْ جَارَ بَيْتٍ فَإِنَّنِي # أَخَافُ مَلَامَاتِ الْأَحَادِيثِ مِنْ بَعْدِي
"Entah saudara yang datang berkunjung atau tetangga rumah,
karena aku takut celaan dan cerita buruk setelahku."
وَإِنِّي لَعَبْدُ الضَّيْفِ مِنْ غَيْرِ ذِلَّةٍ # وَمَا فِيَّ إِلَّا ذَاكَ مِنْ شِيمَةِ الْعَبْدِ
"Aku adalah pelayan tamu tanpa rasa hina,
dan dalam diriku hanya ada sifat mulia dari seorang pelayan tamu."
Tetangganya yang pelit mendengar syair itu dan menjawab:
لَبَيْنِي وَبَيْنَ الْمَرْءِ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ # بِمَا قَالَ بَوْنٌ فِي الْفِعَالِ بَعِيدُ
"Antara aku dan Qais bin ‘Āṣim,
terdapat jarak yang sangat jauh dalam perbuatan sebagaimana ia ucapkan."
وَإِنَّا لَنَجْفُو الضَّيْفَ مِنْ غَيْرِ قِلَّةٍ # مَخَافَةَ أَنْ يُغْرَى بِنَا فَيَعُودُ
"Kami enggan menjamu tamu bukan karena kekurangan,
tetapi takut mereka senang dan datang kembali."
Wallāhu a‘lam.
Referensi:
Diterjemahkan dari :
•https://www.islamweb.net/ar/article/220939/
•https://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=230934
Partnership : App Chatgpt
✍🏼MHA El kanzu
🏡 Suco & Nangkas - Jogorogo - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩
⌚ 08:50 WIB
📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M
0 komentar:
Posting Komentar