ISLAM itu indah-----ISLAM itu sempurna dan ISLAM itu rahmatan lil 'alamin-----JANGAN Hanya menilai ISLAM dari pengikut / umatnya...!-----tapi Nilai lah ISLAM dari ajarannya...!-----Pelajarilah...!-----Jika Tidak Tahu Bertanyalah Pada Ahlinya-----maka anda akan mengetahui betapa menakjubkanya Islam bagi kehidupan manusia

Sabtu, 19 April 2025

Jalan Tanpa Alas Kaki (kaki ayam / nyeker)

Pertanyaan:

هل المشي حافياً سُنَّة؟

Apakah berjalan tanpa alas kaki termasuk sunnah?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah.

Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dalam as-Sunan (no. 4160), dan oleh Ahmad dalam al-Musnad (no. 23969), dari 'Abdullāh bin Buraydah, bahwa:

Seorang laki-laki dari sahabat Nabi AE Shallallāhu 'alaihi wa sallam melakukan perjalanan menuju Fadālah bin 'Ubayd yang saat itu berada di Mesir. Lalu ia menemuinya, dan berkata: “Sungguh aku datang kepadamu bukan sebagai seorang yang ingin berkunjung (biasa), tetapi karena aku dan engkau telah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya.” Fadālah bertanya: “Hadits apa itu?.

Lalu ia pun menyebutkan hadits itu (isi hadits tidak disebut secara rinci di sini). Kemudian ia berkata lagi: “Mengapa aku melihatmu tampak kusut, padahal engkau adalah pemimpin (amir) negeri ini?”

Fadālah menjawab:

 إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الإِرْفَاهِ .

  “Sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari banyak bentuk kemewahan (irfāh).”

Ia bertanya lagi: “Kenapa aku tidak melihat engkau memakai alas kaki?

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا

Maka Fadālah menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallāhu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami agar sesekali berjalan tanpa alas kaki (berkaki ayam).”

Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāni dalam Ṣaḥīḥ Abī Dāwūd.


Penjelasan:

Ibnul Atsīr berkata dalam an-Nihāyah (2/247):

> Kata "الإِرْفَاهِ" (al-irfāh) maksudnya adalah terlalu banyak meminyaki (tubuh) dan hidup mewah. Ada pula yang mengatakan: memperluas diri dalam hal minuman dan makanan. Kata ini berasal dari “الرفه” yaitu air yang didatangi unta kapan saja ia mau—yakni hidup dalam kenyamanan dan kemewahan tanpa batas.

Maksudnya adalah: meninggalkan sikap memanjakan diri, bersantai-santai, dan hidup serba nyaman; karena itu termasuk gaya hidup bangsa 'ajam (non-Arab) dan orang-orang duniawi.

Sabda Nabi:

 “كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا”

Maknanya: beliau memerintahkan agar kadang-kadang kita berjalan tanpa alas kaki.

Sebagian ulama menyatakan bahwa dianjurkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.

Hikmahnya:

• Melatih diri untuk hidup keras dan sederhana

• Menghindarkan dari sikap santai berlebihan

• Membiasakan diri dengan kezuhudan dan tidak tertarik pada kemewahan dunia


al-Qārī rahimahullāh berkata dalam Mirqāt al-Mafātīḥ (7/2827):

“(نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا): maksudnya adalah kami berjalan tanpa alas kaki, sebagai bentuk tawadhu’, merendahkan jiwa, dan agar seseorang terbiasa jika suatu saat harus melakukannya dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, diperintahkan hanya sesekali (أحيانًا), bukan terus-menerus.”


Ibnu ‘Abdil Qawī rahimahullāh berkata dalam syairnya (dalam Manzhūmah):

 وَسِرْ حَافِيًا أَوْ حَاذِيًا وَامْشِ وَارْكَبَنْ

تَمَعْدَدْ وَاِخْشَوْشِنْ وَلَا تَتَعَوَّدِ

"Berjalanlah engkau tanpa alas kaki atau dengan alas kaki, berjalanlah atau berkendaralah.

Biasakan hidup sederhana dan keras, dan jangan membiasakan diri hidup manja."


Imam as-Saffārīnī rahimahullāh berkata:

"(وَسِرْ) dalam keadaan engkau (حَافِيًا) tanpa alas kaki, sesekali, sebagai bentuk meneladani Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. (أَوْ) berjalanlah dalam keadaan (حَاذِيًا) yaitu memakai alas kaki.”

(Selesai dari Ghidhā’ al-Albāb, 2/340)

---

Syaikh Ibn ‘Utsaimīn rahimahullāh berkata:

> *“Memakai sandal (alas kaki) termasuk sunnah, dan berjalan tanpa alas kaki pun termasuk sunnah. Oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang dari terlalu banyak bermewah-mewahan (الإرفاه), dan beliau memerintahkan agar sesekali berjalan tanpa alas kaki.

Maka sunnahnya adalah seseorang memakai alas kaki—tidak mengapa—tetapi sebaiknya juga sesekali berjalan tanpa alas kaki di tengah-tengah manusia, agar tampak sunnah ini, yang kadang-kadang justru dicela oleh sebagian orang. Jika mereka melihat seseorang berjalan tanpa alas kaki, mereka berkata: 'Apa ini? Orang ini orang bodoh!' Padahal ini keliru. Karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu banyak bermewah-mewahan, dan memerintahkan sesekali berjalan tanpa alas kaki.”*

(Selesai dari Syarḥ Riyāḍ aṣ-Ṣāliḥīn, 6/387)


Kesimpulannya:

Disunnahkan bagi seseorang untuk berjalan tanpa alas kaki sesekali, selama tidak menimbulkan bahaya atau mudarat.

---

al-Munāwī rahimahullāh berkata:

> *“Jika seseorang aman dari najis yang bisa mengenainya—seperti berjalan di atas tanah berpasir, dan tidak membahayakannya—maka hal itu dianjurkan (mustahabb) sesekali, yakni berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya adalah untuk merendahkan diri dan mendidik jiwa.

Oleh karena itu disebutkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan baik dengan alas kaki maupun tanpa alas kaki, dan para sahabat juga biasa berjalan dengan atau tanpa alas kaki.”*

(Selesai dari Fayḍ al-Qadīr, 1/317)

---

Syaikh ‘Abdul Muḥsin al-‘Abbād ḥafiẓahullāh berkata:

> *“Jika kondisi tanah menuntut seseorang untuk memakai alas kaki, maka hendaknya ia memakai alas kaki. Misalnya jika tanah tersebut mengandung pecahan kaca, besi, bebatuan tajam, duri, atau panas terik karena matahari—maka hendaknya ia memakai pelindung yang telah Allah karuniakan kepadanya, yaitu dengan menggunakan alas kaki.

Namun, sesekali tidak memakai alas kaki—itulah yang disebutkan dalam hadits dari Faḍālah bin ‘Ubayd dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kami untuk sesekali berjalan tanpa alas kaki. Tujuannya agar tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan dan kenyamanan, serta agar terbiasa dengan sedikit kekasaran dan kesederhanaan. Tapi hal ini bukan dilakukan secara terus-menerus, melainkan hanya dilakukan sesekali.”

(Selesai dari Syarḥ Sunan Abī Dāwūd, 23/273; versi al-Maktabah asy-Syāmilah)


Ringkasan Jawaban:

Kesimpulannya: berjalan tanpa alas kaki sesekali adalah bagian dari sunnah, namun hal ini dibatasi dengan syarat tidak menimbulkan ketenaran yang tercela bagi orang yang melakukannya di suatu daerah.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa jika seseorang adalah panutan di negerinya dan dikenal sebagai orang berilmu, maka boleh baginya berjalan tanpa alas kaki di hadapan manusia, karena mereka akan mengetahui bahwa hal itu termasuk sunnah.

Adapun jika seseorang bukan termasuk orang semacam itu, dan dikhawatirkan akan menjadi bahan cibiran orang-orang, maka cukup baginya melakukannya di rumah, atau di tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang awam.

والله تعالى أعلم (Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.)


Referensi:

Diterjemahkan dari : https://islamqa.info/ar/answers/235106/

Partnership : App Chatgpt

✍🏼MHA El kanzu

🏡 Suco - Ngawi- JATIM Indonesia Raya 🇮🇩

⌚ 08:10WIB

📝19 Syawal 1446 H / 20 April 2025 M


0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post