Kisah ini terjadi di Malaysia beberapa tahun
yang lalu. Namun penyesalan berkepanjangan
terus mengikuti sang istri.
Berikut ini kisah lengkapnya seperti
diterjemahkan secara bebas dari laman
fitrihadi.com :
Sebenarnya kami adalah pasangan yang
romantis. Bahkan, teman-teman sering
memperbincangkan keharmonisan kami.
Meskipun bekerja, aku tetap melayani suami dan
mengurus anak-anak dengan baik. Aku
bersyukur suami memahamiku dengan baik. Ini
membuat aku semakin sayang kepadanya.
Sementara suamiku, di tengah kesibukannya, ia
juga selalu membantu mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan domestik. Ia juga sering mengimamiku
shalat. Aku bahagia dengan hubungan kami.
Hari itu, Senin. Aku ingat betul. Aku pergi ke
kantor pagi-pagi karena banyak urusan yang
harus aku selesaikan. Termasuk janji bertemu
dengan sejumlah klien. Biasanya jam 6 petang
aku sudah berada di rumah, hampir bersamaan
dengan azan Maghrib berkumandang. Aku lihat
suamiku telah bersiap-siap untuk shalat
Maghrib. Pun anak-anak telah tampil rapi,
mereka sudah mandi dan tampak riang bersama
ayahnya. Aku lihat suamiku sangat bahagia
bersama anak-anak petang itu.
Ba’da Maghrib, kami keluar ke sebuah restoran.
Jaraknya sekira 5 kilometer dari rumah.
Sepanjang perjalanan kami bergurau, ngobrol ke
sana kemari, disertai tawa yang kadang-kadang
lepas.
Aku merasakan kegembiraan suamiku petang itu
lain dari biasanya. Cara bercandanya, cara
tersenyum dan tertawanya… Dalam hati aku
hanya bisa bersyukur dan berbahagia.
“Sudah jam 12.30 tengah malam, Bang. Ayo
pulang,” kataku setelah melihat jam tangan. Tak
terasa sudah larut. Tanpa banyak bicara,
suamiku pergi ke kasir.
Kami tiba di rumah dua puluh menit kemudian.
Anak-anak kami yang jumlahnya tiga orang
segera masuk rumah dan tidur. Usia si bungsu
baru tujuh tahun, sedangkan si sulung berusia
12 tahun.
Aku juga mulai mengantuk. Maklum, di jam
segini dan setelah perut terisi dengan makanan
lezat restoran tadi, bawaannya ingin langsung
tidur saja. Di saat seperti itu suami membelai
rambutku, ia menginginkan sesuatu. Tapi
mataku terasa berat, aku ingin tidur.
Suami membisikiku, ini permintaan terakhirnya.
Namun, aku berpikir, aku mengantuk dan dia
juga mungkin kecapekan. Lebih baik besuk saja.
Perlahan-lahan suami melepaskan pelukannya.
Pagi harinya, ada perasaan tak menentu. Seperti
ada hal besar yang akan terjadi. Aku menelpon
suami, tetapi tidak dijawab. Hingga kemudian
aku dikejutkan dengan telepon dari kepolisian.
Mereka mengabarkan bahwa suamiku
kecelakaan dan memintaku segera datang ke
rumah sakit.
Hatiku seakan pecah saat itu. Aku ke rumah
sakit, tetapi segalanya telah terlambat. Suamiku
menghembuskan nafas terakhirnya sebelum aku
tiba di sana. Air mata menjadi saksi betapa aku
sangat kehilangan dirinya.
Yang lebih kusesali, meskipun aku telah ridha
dengan takdir dariNya, aku tidak memenuhi
permintaan di malam terakhirnya. Hatiku
dihinggapi perasaan bersalah yang luar biasa.
Aku takut jika suamiku pergi menghadapNya
dalam kondisi tidak ridha kepadaku. Dan aku
tidak sempat meminta maaf kepadanya karena
kini ia telah terbaring kaku.
Aku jadi ingat dengan hadits Nabi, “Demi Allah
yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang suami
yang mengajak istrinya tidur bersama, lalu
ditolak isterinya, maka malaikat yang di langit
akan murka kepada istrinya itu hingga suami
memaafkannya”.
Setiap kali teringat suami, mataku gerimis.
Pipiku basah. Aku hanya bisa memohon ampun
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi seluruh
wanita muslimah di segala penjuru dunia. Jika
suamimu memintamu, sepanjang kau mampu,
penuhilah. Sebab engkau tak pernah tahu kapan
tiba-tiba Allah mengambil suamimu. Dan
semoga engkau selalu mendapatkan rahmatNya,
tersebab suami yang selalu ridha padamu kapan
pun juga. [Kisahikmah.com]