sunnah.com/riyadussaliheen/9sunnah.com/riyadussaliheen/9Bismillah
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
))ﻭَﺭَﺗِّﻞِ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺗَﺮْﺗِﻴﻼ ((
“Dan bacalah
Al-Qur’an itu dengan secara tartil (perlahan-lahan).” (Al-Muzzammil: 4)
Ibnu Katsir berkata: “Bacalah Al-Qur’an pelan-pelan. Terdapat riwayat
yang menceritakan
bacaan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membaca Al-Qur’an
dengan perlahan-lahan.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas Radhiyallaahu ‘anhu dia ditanya tentang
bacaan Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka Anas menjelaskan bacaan Nabi
panjang-panjang. Dicontohkannya dengan bacaan “Bismillahirrahmanirrahim” dengan
memanjangkan “Bismillaahi” kemudian “Arrahmaan” dan “Arrahiim”.
Dalam Sunan
Abi Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Ummi Salamah Radhiallaahu ‘anha mensifati bacaan
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membaca huruf demi huruf.
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama telah sepakat atas sunnahnya membaca
Al-Qur’an
secara tartil.”
Dalam melambatkan bacaan terdapat keutamaan yang besar. Kedudukan pembaca
Al-Qur’an di akhirat sangat tinggi sesuai dengan bacaan yang dilambatkannya
waktu di dunia.
Pada Sunan
At-Tirmidzi dari
‘Abdullah Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻗْﺮَﺃْ
ﻭَﺍﺭْﺗَﻖِ ﻭَﺭَﺗِّﻞْ -ﻛَﻤَﺎ- ﻛُﻨْﺖَ ﺗُﺮَﺗِّﻞُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﺈِﻥَّ
ﻣَﻨْﺰِﻟَﺘَﻚَ ﻋِﻨْﺪَ ﺁﺧِﺮِ
ﺁﻳَﺔٍ ﺗَﻘْﺮَﺃُ ﺑِﻬَﺎ
“Dikatakan
kepada pembaca Al-Qur’an, ‘Baca!’ dan naiklah sebagaimana engkau baca Al-Qur’an
di dunia, karena tempatmu pada akhir ayat yang kau baca.”
Dalam Al-Musnad dari Abi Said Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻗْﺮَﺃْ
ﻭَﺍﺻْﻌُﺪْ، ﻭَﻳَﺼْﻌُﺪُ ﺑِﻜُﻞِّ ﺁﻳَﺔٍ ﺩَﺭَﺟَﺔً ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﺁﺧِﺮِ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣَﻌَﻪُ
“Dikatakan
kepada pembaca Al-Qur’an apabilamasuk surga: ‘Bacalah! dan mendakilah, maka ia mendaki
dengan setiap ayat satu derajat hingga ia membaca ayat terakhir yang ia hafal.”
Seyogyanya menekankan bacaan dan memperbagus suara karena hal itu menambah kebagusan
Al-Qur’an hingga diterima pendengarnya serta meninggalkan bekas dalam
hati.
Dalam Sunan
An-Nasa’i dan Ad-Darimi serta Al- Mustadrak Al-Hakim dari Barra’ Radhiyallaahu ‘anhu
berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﺴِّﻨُﻮْﺍ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺑِﺄَﺻْﻮَﺍﺗِﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻮْﺕَ ﺍﻟْﺤَﺴَﻦَ ﻳَﺰِﻳْﺪُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺣُﺴْﻨًﺎ
“Baguskanlah
Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur’an.”
Dalam Sunan Abi Daud dari Abu Lubabah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
)) ﻟَﻴْﺲَ
ﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ((
“Bukan dari
golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.”
An-Nawawi mengisahkan dari Jumhurul Ulama bahwa
makna “lam yataghanna ” adalah yang tidak membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam qudwah (teladan) dalam hal ini.
Dalam Shahih
Al-Bukhari dari Barra’ Ibnu ‘Azib berkata: “Saya mendengar Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam shalat isya’ “At-Tiin waz Zaitun”,
tidak pernah kudengar seseorang yang lebih bagus suaranya dari beliau .”
Dalam Shahih
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Mughaffal berkata:
“Saya melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas unta yang
sedang berjalan sedang beliau membaca surat Al-Fath atau sebagiannya dengan bacaan
yang lembut.
Beliau Shallallaahu
‘alaihi wa sallam membacanya dengan melagukannya.”
Ibnu Hajar mengisahkan hal ini dan menguatkan yang kedua karena lebih
sesuai dengan
kenyataan, karena Rasul pernah berbisik:
ﻟَﻮْﻻَ ﺃَﻥْ
ﻳَﺠْﺘَﻤِﻊَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻟَﻘَﺮَﺃْﺕُ ﻟَﻜُﻢْ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻠَّﺤْﻦِ
“Kalau
sekiranya tidak menyebabkan manusia berkumpul niscaya kubaca kepada kalian
dengan nada itu.”
Maksudnya lagu, dalam riwayat lain terdapat kata at-tarji’.
At-Tarji’
memiliki dua
makna:
1. Keadaan
Nabi (yang terguncang) di atas unta sehingga menimbulkan getaran suara.
2. Beliau
benar-benar menekankan sesuai panjang dan pendeknya, dan ini yang terjadi.
Kemudian
dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail, An-Nasa’i,
Ibnu Majah dan Ibnu Abi Daud, ini adalah lafazhnya dari hadits Ummu
Hani: “Aku pernah mendengar suara Rasulullah yang sedang membaca Al-Qur’an
–ketika aku tidur di atas ranjang– dengan melagukannya.”
Ibnu Abi Jumrah berkata: “Makna at-tarjii’ adalah membaguskan suara.”
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji kepada sahabat yang memiliki
suara bagus. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari
Radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya:
ﻟَﻘَﺪْ
ﺃُﻭْﺗِﻴْﺖَ ﻣِﺰْﻣَﺎﺭًﺍ ﻣِﻦْ ﻣَﺰَﺍﻣِﻴْﺮِ ﺃَﻫْﻞِ ﺩَﺍﻭُﺩَ
“Sungguh
engkau telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Nabi Daud.”
Beliau Shallallaahu
‘alaihi wa sallam menunjuk pada keindahan suara sahabat itu.
Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiyallaahu ‘anha berkata: “Saya pernah terlambat ke Rasulullah satu malam
setelah isya’ beliau bertanya: “Dimana engkau berada?” Saya menjawab: “Saya
mendengar bacaan dari salah seorang sahabatmu, aku belum pernah mendengar suara
dan bacaan sebagus dia, kemudian Rasulullah berdiri lalu saya mengikutinya
hingga beliau mendengarnya sendiri. Kemu-dian beliau menoleh pada saya seraya
bersabda: “Ini adalah Salim budak Abi Hudzaifah, segala puji bagi Allah yang
menjadikan orang sepertinya dalam umatku.”
Bushiri berkata: “Isnad hadits ini shahih
para perawinya terpercaya.
Ibnu Katsir berkata: Sanadnya jayyid.”
Bahkan Allah
Subhaanahu wa Ta’ala menyukai suara yang bagus dalam membaca Al-Qur’an dan memperdengarkannya.
Dalam Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺃَﺫِﻥَ
ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣَﺎ ﺃَﺫِﻥَ ﻟِﻨَﺒِﻲِّ ﺣُﺴْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻮْﺕِ ﻳَﺘَﻐَﻨَّﻰ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻳُﺠْﻬِﺮُ ﺑِﻪِ
“Allah tidak
memberi izin terhadap suatu perbuatan sebagaimana Nabi diizinkan membaguskan
suara dalam melagukan Al-Qur’an secara lantang (nyaring).”
Ibnu Atsir berkata: “Maksudnya Allah tidak memperhatikan
sesuatu sebagaimana perhatiannya terhadap Nabi dalam melagukan Al-Qur’an.”
Dalam Sunan Ibnu Majah dari Fudhalah Ibnu ‘Ubaid berkata:
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﻠﻪُ
ﺃَﺷَﺪُّ ﺃُﺫُﻧًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺍﻟْﺤُﺴْﻦِ ﺍﻟﺼَّﻮْﺕِ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣِﻦْ ﺻَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﻘَﻴْﻨَﺔِ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﻴْﻨَﺘِﻪِ
“Allah
sangat memperhatikan orang yang bagus bacaannya dalam membaca Al-Qur’an
daripada penyanyi terhadap nyanyiannya.”
Al-Bushiri berkata: “Sanadnya hasan.” Ibnu Atsir berkata:
“Sanadnya jayyid.”
Imam
An-Nawawi berkata:
“Para ulama dari kalangan salaf (dahulu) maupun khalaf
(belakangan) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka di
penjuru negeri muslim sepakat atas sunnahnya membaguskan suara dengan
Al-Qur’an, perkataan dan perbuatan mereka ini sangat mashur. Kami memiliki perbendaharaan
tentang hal ini. Dalil-dalil dari hadits
tentang hal ini terperinci baik yang khusus maupun yang umum.”
Saya
(penulis) katakan:
“Benar, sesungguhnya membaguskan suara ketika membaca Al-Qur’an dengan
tajwidnya merupakan perintah syariat, karena dalil-dalil yang jelas dan shahih.
Tetapi dengan syarat menjaga makharijul hurufnya (tempat-tempat keluarnya
huruf) dan memantapkannya serta memenuhi hukum- hukumnya, karena makna tidak
dapat di-fahami selain dengan jalan tersebut, sedangkan memahami dan
merenungkan merupakan tujuan utama, karena itu ada pujian bagi pembaca yang mahir.”
Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallaahu ‘anha bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟْﻤَﺎﻫِﺮُ
ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮَﺓِ ﺍﻟْﻜِﺮَﺍﻡِ ﺍﻟْﺒَﺮَﺭَﺓِ
“Orang yang
mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia.”
Ibnu Hajar berkata: “Orang yang mahir/piawai disini
maksudnya baik bacaan dan hafalannya.”
Tetapi jika perubahan irama mengakibatkan pelanggaran terhadap makna dengan
menyembunyikan sebagian huruf atau menyelewengkannya atau tindakan lainnya yang
me-nyebabkan makna berubah atau menyerupai penyanyi dan orang yang bercanda
maka sesungguhnya ia tercela bukannya terpuji.
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama berkata: ‘Sunnah hukumnya membaca
Al-Qur’an dengan membaguskan suara dan urutannya selama belum keluar dari batas
bacaannya hingga
berlebihan. Jika melampaui batas sehingga menambah satu huruf atau
menyembunyikannya
maka hal itu haram’.”
Adapun bacaan dengan berbagai dialek Imam Asy-Syafi’i berkata: “Saya
tidak menyukainya. Sahabat-sahabat kami berkata: ‘Kami tidak berhujjah dengan
dua pendapat tetapi ada keterangannya bahwa jika berlebihan hingga melampaui
batas maka itulah yang tidak disukai dan jika tidak melanggar maka tidak
dibenci’.”
Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi berkata: “Bacaan dengan lagu
tertentu, jika hal itu
menyimpang dari lafazh-lafazh Al-Qur’an dari bentuknya dengan memasukkan
harakat dan
menghapusnya atau memendekkan yang panjang dan memanjangkan yang pendek, berlebihan
hingga menyembu-nyikan sebagian lafazh dan menimbulkan kerancuan makna, maka
hal itu haram hukumnya dan pembacanya menjadi fasiq serta yang mendengarkan
berdosa karena keluar dari aturan yang lurus kepada yang bengkok.
Padahal Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Ialah) Al Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di
dalamnya).” (Az-Zumar: 28)
Jika tidak
keluar bacaannya dari lafazh-lafazhnya tetapi hanya dengan melambatkan bacaan
maka hal itu mubah (boleh) karena dia menambah lagu untuk membaguskan.”
Imam
An-Nawawi
mengomentari hal ini dengan menga-takan: “Perkataan ini sebaik-baik
pemecahan atau penengah-an. Dan bagian pertama ini, bagian dari bacaan yang
haram
merupakan bencana yang diujikan kepada orang awam yang bodoh yang bertindak serampangan
dengan membacanya untuk jenazah dan di waktu pesta. Ini merupakan bid’ah yang
diharamkan secara jelas. Pada setiap pendengar yang membiarkan hal ini berdosa
sebagaimanadikatakan Al-Mawardi dan juga bagi yang sanggup menghilangkannya
atau mencegahnya namun tidak berbuat apapun.”
Ibnu Katsir berkata: “Tujuan yang diminta dalam agama adalah membaguskan
suara yang
membangkitkan semangat untuk merenungi Al-Qur’an dan memahaminya, khusyu’ dan
penuh dengan ketundukan serta kepatuhan ter-hadap perintahnya. Sedangkan
menyuarakan Al-Qur’an dengan patokan lagu dan irama yang bersifat hiburan dan
aturan-aturan seperti musik dan yang menjalankan madzhab ini, maka Al-Qur’an terlalu
suci dan agung untuk diperlaku-kan seperti itu. Dan telah datang sunnah yang
menganggap hal itu dosa.”
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan dari memperbagus suara ketika membaca
Al-Qur’an dengan tajwidnya untuk mendorong pendengar agar membawanya untuk
merenung-kannya,
tunduk dan terkesan dengannya. Alangkah bahagia-nya orang yang akalnya terikat
oleh Al-
Qur’an kemudian hatinya menjadi lembut karenanya. Perlu diketahui oleh pembaca
Al-
Qur’an sejauh mana ia terkesan ketika memba-canya sejauh itu pula bacaannya
akan berkesan kepada yang mendengarkannya.
Dalam kitab Al-Mukhtaratu Lidh-Dhiya’ dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥْ
ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻗِﺮَﺍﺀَﺓً ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺮَﺃَ ﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺨْﺸَﻰ
ﺍﻟﻠﻪَ
“Sesungguhnya
sebaik-baik bacaan manusia adalah jika ia membaca Al-Qur’an engkau melihat pembacanya
benar-benar takut kepada Allah.”
Seorang
pembaca Al-Qur’an sekaligus termasuk mengajak manusia ke jalan Allah, sehingga
dia termasuk orang yang dipuji Allah dalam firmanNya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Sedangkan orang yang telah dikuasai setan kemudian melupakan Allah dan menjadi
penyeru pada suaranya agar manusia kagum, maka alangkah ruginya perbuatan itu
dan alangkah
buruknya tempat kembalinya.
Dalam Shahih
Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Saya
mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ
ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪَ ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ
ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﺗَﻠْﺖُ ﻓِﻴْﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪْﺕُ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺬَﺑْﺖَ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ
ﻗَﺎﺗَﻠْﺖَ ﻷَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ
ﺟَﺮِﻱْﺀٌ
ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴْﻞَ ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ
ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻭَﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ
ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ
ﻭَﻋَﻠَّﻤْﺘُﻪُ
ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕُ ﻓِﻴْﻚَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺬَﺑْﺖَ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕَ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ ﻫُﻮَ ﻗَﺎﺭِﺉٌ ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴْﻞَ ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ
ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﻭَﺳَّﻊَ
ﺍﻟﻠَّـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻨَﺎﻑِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻛُﻠِّﻪِ ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﺎ
ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻣِﻦْ ﺳَﺒِﻴْﻞٍ ﺗُﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻔَﻖَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﻔَﻘْﺖُ ﻓِﻴْﻬَﺎ
ﻟَﻚَ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺬَﺑْﺖَ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ
ﻓَﻌَﻠْﺖَ
ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ ﻫُﻮَ ﺟَﻮَﺍﺩٌ ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴْﻞَ ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺛُﻢَّ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Manusia
pertama yang diadili pada hari Kiamat adalah seorang yang mati syahid, ia
menghadap kepada Allah, kemudian Allah memperlihatkan nikmat yang telah
dika-runiakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’
Ia menjawab: ‘Aku berperang untukMu sehingga aku mati syahid’. Lantas dijawab: ‘Engkau
dusta, sesungguhnya engkau berperang agar manusia mengatakan bahwa engkau
seorang pemberani’, kemudian Allah memerintahkan agar ia diseret dan di-lempar
ke Neraka. Kemudian didatangkan seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya,
lalu Allah mem-perlihatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya. Allah bertanya:
‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku belajar dan
mengajarkan ilmu yang kudapat serta membaca Al-Qur’an untukMu’. Allah menjawab:
‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau belajar agar dikatakan ‘alim dan engkau
membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang qari’, kemudian diperintahkan agar ia
diseret dan dilempar ke Neraka.”
Al-Ajuri berkata: “Seyogyanya bagi yang dikaruniai oleh Allah Subhaanahu
wa Ta’ala
suara yang baik ketika membaca Al-Qur’an agar mengetahui bahwa Allah telah mengaruniakan
kebaikan khusus padanya maka hendaknya ia mengetahui kadar keistimewaan Allah
baginya.
Bacalah Al-Qur’an semata ka-rena Allah bukan untuk dipuji manusia. Berhati-hatilah
dari
kecenderungan untuk didengarkan orang agar memperoleh pujian,
untuk mendapat dunia
(harta), perasaan suka dipuji, untuk memperoleh kedudukan di
dunia, hubungan dengan penguasa, lebih dari masyarakat umumnya.
Barangsiapa cenderung
kepada yang aku peringatkan maka aku khawatir suaranya yang bagus malah
menjadi fitnah.
Sedangkan
suaranya akan memberi manfaat baginya jika ia takut kepada Allah Subhannahu wa
Ta’ala dalam keadaan sendiri atau bersama yang lain. Yang diminta darinya agar
ia memperdengarkan Al-Qur’an untuk memperingatkan orang-orang yang lalai agar berpaling
dan mencintai apa yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala menjauhi apa yang dicegahnya.
Siapa yang memiliki sifat ini maka suaranya yang bagus bermanfaat baginya
sendiri dan manusia.”
—
sunnah.com/riyadussaliheen/9