ISLAM itu indah-----ISLAM itu sempurna dan ISLAM itu rahmatan lil 'alamin-----JANGAN Hanya menilai ISLAM dari pengikut / umatnya...!-----tapi Nilai lah ISLAM dari ajarannya...!-----Pelajarilah...!-----Jika Tidak Tahu Bertanyalah Pada Ahlinya-----maka anda akan mengetahui betapa menakjubkanya Islam bagi kehidupan manusia

Minggu, 04 Mei 2014

Ragu + Yakin = Yakin

Ragu
Tidak Bisa Mengalahkan
Yakin
 Jan 12, 2013  Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc  Ilmu Ushul  0
Sebelum Maghrib kita yakin sudah
berwudhu dengan benar dan wudhu
itu kita gunakan untuk shalat.
Menjelang Isya’ mungkin ada
perasaan atau was-was, apakah
wudhu shalat Maghrib tadi sudah
batal ataukah belum. Untuk keadaan
seperti ini kalau yakin tidak kentut
dan tidak melakukan pembatal
wudhu lainnya, maka tetaplah
berpegang pada kondisi awal (yang
yakin). Keyakinan belum batal
wudhu tidak bisa dihilangkan
dengan sekedar keraguan. Jika yakin
benar sudah batal, itulah kondisi
yang diambil dan ketika itu barulah
kita berwudhu. Kaedah yang kita
bahas kali ini amat membantu untuk
memahami masalah semacam ini.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di rahimahullah berkata dalam
bait sya’irnya,
ﻭﺗﺮﺟﻊ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻟﻠﻴﻘﻴﻦ
ﻓﻼ ﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﺸﻚ ﻟﻠﻴﻘﻴﻦ
Hukum merujuk pada yang yakin,
Karenanya yang yakin tidak bisa
dihilangkan dengan sekedar keraguan
Yang dimaksud ragu-ragu dalam
kaedah di atas adalah keadaan yang
tidak bisa menguatkan salah satu
dari beberapa pilihan. Sedangkan
yang dimaksud yakin adalah
ketenangan hati dan adanya
pengetahuan (ilmu).
Adapun maksud kaedah adalah
hukum itu merujuk pada yang yakin.
Jika datang keraguan, sedangkan
sebelumnya masih ada yang yakin,
maka tidak boleh berpaling pada
yang ragu tersebut dan tetap
berpegang pada yang yakin.
Kaedah ini berlaku dalam semua bab
fikih. Bahkan beberapa kaedah fikih
berada di bawah kaedah pokok ini
yang nanti akan disampaikan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di dalam bait kaedah fikih
selanjutnya.
Dalil Kaedah
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺘَّﺒِﻊُ ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻇَﻨًّﺎ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﻟَﺎ ﻳُﻐْﻨِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“ Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan .” (QS. Yunus: 36)
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻬُﻢْ ﺑِﻪِ ﻣِﻦْ ﻋِﻠْﻢٍ ﺇِﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﻟَﺎ ﻳُﻐْﻨِﻲ
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“ Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran. ” (QS.
An Najm: 28).
Dalam shahih Bukhari-Muslim
disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin
Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
ia pernah mengadukan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai seseorang yang biasa
merasakan sesuatu dalam shalatnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun bersabda,
ﻻَ ﻳَﻨْﺼَﺮِﻑْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﻤَﻊَ ﺻَﻮْﺗًﺎ ﺃَﻭْ ﻳَﺠِﺪَ ﺭِﻳﺤًﺎ
“ Janganlah berpaling hingga ia
mendengar suara atau mendapati
bau. ” (HR. Bukhari no. 177 dan
Muslim no. 361).
Imam Nawawi rahimahullah berkata
mengenai hadits di atas,
ﻣَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻳَﻌْﻠَﻢ ﻭُﺟُﻮﺩ ﺃَﺣَﺪﻫﻤَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻉ ﻭَﺍﻟﺸَّﻢّ ﺑِﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ . ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚ ﺃَﺻْﻞ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮﻝ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡ ﻭَﻗَﺎﻋِﺪَﺓ
ﻋَﻈِﻴﻤَﺔ ﻣِﻦْ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪ ﺍﻟْﻔِﻘْﻪ ، ﻭَﻫِﻲَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺷْﻴَﺎﺀ ﻳُﺤْﻜَﻢ ﺑِﺒَﻘَﺎﺋِﻬَﺎ
ﻋَﻠَﻰ ﺃُﺻُﻮﻟﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺘَﻴَﻘَّﻦ ﺧِﻠَﺎﻑ ﺫَﻟِﻚَ . ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮّ ﺍﻟﺸَّﻚّ
ﺍﻟﻄَّﺎﺭِﺉ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
“Makna hadits tersebut adalah ia
boleh berpaling sampai ia
menemukan adanya suara atau
mencium bau, dan tidak mesti ia
mendapati kedua-duanya sekaligus
sebagaimana hal ini disepakati oleh
para ulama kaum muslimin (ijma’ ).
Hadits ini menjadi landasan suatu
kaedah dalam Islam dan menjadi
kaedah fikih, yaitu sesuatu tetap
seperti aslinya sampai datang suatu
yang yakin yang menyelisihinya.
Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-
tiba, maka tidak
membahayakan.” (Syarh Muslim, 4:
49).
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata,
ﻛُﻞُّ ﺍﺣْﺘِﻤَﺎﻝٍ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﻨِﺪُ ﺇﻟَﻰ ﺃَﻣَﺎﺭَﺓٍ ﺷَﺮْﻋِﻴَّﺔٍ ﻟَﻢْ ﻳُﻠْﺘَﻔَﺖْ ﺇﻟَﻴْﻪِ
“Setiap yang masih mengandung
sangkaan (keraguan) yang tidak ada
patokan syar’i sebagai pegangan,
maka tidak perlu
diperhatikan.” (Majmu’ Al Fatawa ,
21: 56)
Contoh Kaedah
1- Siapa yang yakin dalam keadaan
suci, kemudian dalam keadaan ragu-
ragu datang hadats, maka ia tetap
dalam keadaan thoharoh (suci), baik
hal ini didapati ketika shalat atau di
luar shalat. Inilah pendapat
madzhab Syafi’i dan mayoritas
ulama lainnya dari salaf (ulama
dahulu) dan kholaf (ulama
belakangan). Demikian kata Imam
Nawawi rahimahullah sebagaimana
dalam Syarh Muslim, 4: 49.
2- Siapa yang berhadats di shubuh
hari, kemudia ia ragu-ragu setelah
itu apakah ia sudah bersuci ataukah
belum, maka ia dihukumi seperti
keadaan pertama yaitu ia dalam
keadaan hadats. Jadinya ia harus
berwudhu. Karena keadaan awal
itulah keadaan yang yakin dan tidak
bisa dikalahkan dengan hanya
sekedar ragu-ragu. (Syarh Al
Manzhumah As Sa’diyah , hal. 77)
3- Barangsiapa yang di sore hari
menjelang matahari tenggelam telah
berbuka puasa, padahal ia masih
ragu akan tenggelamnya matahari,
maka batal puasanya. Karena yang
yakin adalah matahari belum
tenggelam dan yakin tersebut tidak
bisa dihilangkan dengan sekedar
ragu-ragu. Lihat Al Mufasshol fil
Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 283.
4- Seseorang membeli air dan
mengklaim setelah itu bahwa air
tersebut najis. Lalu si penjual
mengingkarinya. Maka yang jadi
pegangan adalah perkataan si
penjual. Karena hukum asal air -
inilah hukum yakinnya- adalah suci,
tidak bisa dihilangkan dengan ragu-
ragu. (Al Mufasshol fil Qowa’idil
Fiqhiyyah , hal. 283).
5- Jika seseorang bepergian jauh ke
suatu negeri dan tidak lagi didengar
kabarnya dalam jangka waktu yang
lama. Lalu muncul keraguan apakah
ia masih hidup. Padahal tidak ada
berita yang menunjukkan
kematiannya, artinya belum datang
suatu yang yakin. Maka tidak boleh
ia dinyatakan mati sampai datang
berita yang pasti (yang yakin).
Sehingga ahli waris tidak bisa begitu
saja membagi hartanya sebagai
warisan sampai yakin akan
kematiannya. (Al Mufasshol fil
Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 282).
6- Jika seseorang yakin di
pakaiannya terdapat najis, namun
tidak diketahui manakah tempatnya,
maka dalam rangka kehati-hatian, ia
menggosok seluruh bagian dari
pakaiannya. Karena keraguan tidak
bisa menghilangkan yang yakin. (Al
Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah,
hal. 282).
7- Tidak wajib bagi pembeli
menanyakan kepada penjual
mengenai barang dagangannya
apakah barang tersebut miliknya
atau bukan, atau barang tersebut
barang curian ataukah bukan. Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
ﻭَﺍﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺑِﻴَﺪِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻣِﻠْﻜًﺎ ﻟَﻪُ
“ Hukum asal segala sesuatu di
tangan seorang muslim adalah
miliknya ” (Majmu’ Al Fatawa, 29:
323). Inilah hukum asalnya dan
inilah yang yakin. Yang yakin ini
tidak bisa dikalahkan dengan
sekedar keraguan.
8- Kehati-hatian dalam rangka ragu-
ragu dalam masalah menilai suatu
air, bukanlah hal yang disunnahkan
(dianjurkan) bahkan tidak
disunnahkan sama sekali untuk
menanyakannya. Bahkan yang
dianjurkan adalah membangun
perkara di atas hukum asal yaitu
suci. Jika ada indikasi yang
menunjukkan najis, barulah
dikatakan najis. Jika tidak, maka
tidak perlu sampai dianjurkan untuk
menjauhi penggunaan air tersebut
cuma atas dasar sangkaan. Namun
jika telah sampai hukum yakin,
maka ini masalah lain lagi.
Demikian yang dicontohkan oleh
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al
Fatawa , 21: 56.
Kaedah Istishab
Di bawah kaedah ini terdapat istilah
yang dikenal dengan kaedah istishab
(hukum asal), di mana kaedah
tersebut adalah di antara dalil syar’i
yang bisa digunakan. Di antara
bentuk istishab :
1- Istishab ibahah , yaitu hukum asal
segala perbuatan adalah mubah
(boleh).
2- Istishab baro-ah , yaitu hukum asal
sesuatu adalah lepas dari kewajiban
sampai datangnya dalil.
3- Istishab nash syar’i , yaitu hukum
asal dalil syar’i adalah tetap berlaku
sampai datangnya mansukh
(penghapus).
4- Istishab ‘umum , yaitu hukum asal
berlaku umum sampai ada dalil yang
mengkhususkan.
5- Istishab washf , yaitu hukum asal
sesuatu adalah sesuai dengan
sifatnya sampai datang yang
menyelisihinya, seperti di pagi hari
telah dalam keadaan suci, maka
keadaan kedua tetap dihukumi suci
jika tidak ada dalil yang
menunjukkan penyelisihan.
Lima kaedah istishab di atas
disepakati oleh para ulama.
Demikian penjelasan guru kami,
Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri
dalam Syarh Al Manzhumah As
Sa’diyah, hal. 77-78.
Semoga kaedah ini bermanfaat,
wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Maktab Jaliyat (Islamic Center)
Bathaa’, Riyadh-KSA, 28 Shafar 1434
H
www.rumaysho.com

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post