Bismillah...
Sungguh
benar sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah :
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dalam syari’at kita, tidak boleh kekuasaan dan kepemimpinan diserahkan pada orang yang tamak kecuali jika dia menawarkan diri dan menganggap ada maslahat dan bisa mendatangkan kebaikan.
Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi bersama
dengan dua orang dari keluarga pamanku. Maka salah seorang dari mereka
berdua berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi
sebagian yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang satu lagi berkata
seperti itu pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
Imam Nawawi membuat judul bab dalam Shahih Muslim, “Larangan meminta kekuasaan dan tamak kepadanya.” Dalam kitab Riyadhis Sholihin, Imam Nawawi menyampaikan judul Bab “Larangan menyerahkan kekuasaan, jabatan hakim dan kekuasaan lainnya pada orang yang memintanya atau sangat tamak terhadapnya kecuali jika ia menawarkan diri (untuk menciptakan maslahat).”
Dalam hadits sebelumnya yang pernah diposting di Muslim.Or.Id sudah disebutkan hal yang sama, yaitu Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak sepantasnya pemimpin menyerahkan suatu kekuasaan kepada orang yang memintanya untuk memimpin suatu wilayah atau sebagian kecil wilayah, walaupun yang memintanya adalah orang yang punya kemampuan.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa ini melarang menyerahkannya kepada orang yang tamak kekuasaan. Orang yang tamak pada kekuasaan boleh jadi tujuannya adalah untuk mencari kedudukan tinggi semata, bukan untuk mendatangkan maslahat bagi rakyatnya. Jika tujuannya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Jika ada yang menyampaikan bahwa bukankah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dahulu juga meminta kekuasaan? Sebagaimana dapat dilihat dalam ayat,
Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, ada dua hal yang mesti dipahami untuk memahami hal di atas:
1- Kita bisa katakan bahwa syari’at umat sebelum kita bisa ditolak jika bertolak belakang dengan syari’at kita. Yang seharusnya jadi patokan adalah syari’at kita. Kaedah ushuliyah yang telah ma’ruf menyatakan,
2- Bisa juga kita katakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa sungguh amanah harta biasa diremehkan. Banyak yang diberi harta, namun tidak menjalankan amanah tersebut dengan baik. Maka Yusuf ingin menjalankan amanat tersebut dengan semestinya, supaya tidak timbul kerusakan terhadap harta milik negara.
Ada hadits yang menjadi pendukung bahwa apa yang dilakukan Yusuf masih dibolehkan.
Jadi jika seorang pemimpin melihat ada yang meminta kekuasaan dengan maksud ingin mendatangkan maslahat, maka tidaklah masalah. Wallahul muwaffiq. (Lihat bahasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 20-22)
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Diselesaikan menjelang ‘Ashar, 8 Jumadal Ula 1435 H di Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan
ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang pun yang sangat
menginginkannya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).Imam Nawawi membuat judul bab dalam Shahih Muslim, “Larangan meminta kekuasaan dan tamak kepadanya.” Dalam kitab Riyadhis Sholihin, Imam Nawawi menyampaikan judul Bab “Larangan menyerahkan kekuasaan, jabatan hakim dan kekuasaan lainnya pada orang yang memintanya atau sangat tamak terhadapnya kecuali jika ia menawarkan diri (untuk menciptakan maslahat).”
Dalam hadits sebelumnya yang pernah diposting di Muslim.Or.Id sudah disebutkan hal yang sama, yaitu Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta
kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa
memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika
engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam
menjalankan kekuasaan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak sepantasnya pemimpin menyerahkan suatu kekuasaan kepada orang yang memintanya untuk memimpin suatu wilayah atau sebagian kecil wilayah, walaupun yang memintanya adalah orang yang punya kemampuan.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa ini melarang menyerahkannya kepada orang yang tamak kekuasaan. Orang yang tamak pada kekuasaan boleh jadi tujuannya adalah untuk mencari kedudukan tinggi semata, bukan untuk mendatangkan maslahat bagi rakyatnya. Jika tujuannya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Jika ada yang menyampaikan bahwa bukankah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dahulu juga meminta kekuasaan? Sebagaimana dapat dilihat dalam ayat,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, ada dua hal yang mesti dipahami untuk memahami hal di atas:
1- Kita bisa katakan bahwa syari’at umat sebelum kita bisa ditolak jika bertolak belakang dengan syari’at kita. Yang seharusnya jadi patokan adalah syari’at kita. Kaedah ushuliyah yang telah ma’ruf menyatakan,
شرع من قبلنا شرع لنا ما لم يرد شرعنا بخلافه
“Syari’at sebelum kita bisa menjadi syari’at kita ketika tidak
bertolak belakang.” Dalam syari’at kita dijelaskan bahwa orang yang
meminta kekuasaan tidak diberi.2- Bisa juga kita katakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa sungguh amanah harta biasa diremehkan. Banyak yang diberi harta, namun tidak menjalankan amanah tersebut dengan baik. Maka Yusuf ingin menjalankan amanat tersebut dengan semestinya, supaya tidak timbul kerusakan terhadap harta milik negara.
Ada hadits yang menjadi pendukung bahwa apa yang dilakukan Yusuf masih dibolehkan.
عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي فَقَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ
بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ
أَجْرًا
Dari ‘Utsman bin Abi Al ‘Ash berkata bahwa ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jadikanlah
aku imam bagi kaumku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Engkau kuangkat jadi imam mereka. Namun perhatikanlah saat shalat
orang-orang yang lemah. Dan pilihlah muazin dari orang yang tidak
mencari upah dengan azannya.” (HR. An Nasai no. 673 dan Abu Daud no. 531. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).Jadi jika seorang pemimpin melihat ada yang meminta kekuasaan dengan maksud ingin mendatangkan maslahat, maka tidaklah masalah. Wallahul muwaffiq. (Lihat bahasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 20-22)
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Diselesaikan menjelang ‘Ashar, 8 Jumadal Ula 1435 H di Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar