Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian
semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata'ala.
Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya
jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta
kesenangan dunia lainnya.
Sungguh
benar sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah :
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi
terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi
penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhri no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk
memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa
kepopuleran, penghormatan dari
orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia,
menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai,
kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik
atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan
politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas
anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir
komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan
sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang
lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan
tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang
dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah
as-salamah wal ‘afiyah.
Al-Muhallab radhiallahu 'anhu berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135);
“Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang
mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah l), dan karenanya terjadi
kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak
akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab.
Allah l berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Allah l mengabarkan
bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan
pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang
beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di
muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah l
yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak
zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir
tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada
hamba-hamba Allah l dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih.
Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang
digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di
bibir.
Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi
saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan
dusta yang menipu.
Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya
kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan
posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun
ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas
mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh
merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib
orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,
sehingga Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi
dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan
kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan
kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya
karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam
ash-Shahihul Musnad, 2/178)
From : http://asysyariah.com/hukum-meminta-jabatan/
From : http://asysyariah.com/hukum-meminta-jabatan/
0 komentar:
Posting Komentar