Niat Puasa Ramadhan
* Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh
jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯَ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar- benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-
sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala .
* Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
* Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
* Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
* Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling
kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu
‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺒَﻴِّﺖِ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻓَﻠَﺎ ﺻِﻴَﺎﻡَ ﻟَﻪُ
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari
maka tidak ada puasa baginya.”
Sumber : http://salafiyunpad.wordpress.com/2010/08/10/panduan-puasa-ramadhan-di-bawah-naungan-al-quran-dan-as-sunnah/
Pendapat yang Membolehkan Niat Puasa Ramadhan Satu Kali Untuk Satu Bulan
Pertanyaan:
Apakah dalam bulan Ramadhan kita
perlu berniat setiap hari ataukah cukup berniat sekali untuk satu bulan penuh?
Jawaban:
Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa
setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan.
Tetapi jika puasanya terputus di
tengah bulan, baik karena bepergian,
sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya.
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Penjelasan Niat Yang Lain
Niat merupakan syarat sah puasa
karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana
ibadah yang lain.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya .”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk
membedakan dengan menahan lapar lainnya.
Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa
yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan
(dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan
niat letaknya di hati [9] .
Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama
besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
ﻟَﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺔِ ﻭَﻣَﺤَﻠُّﻬَﺎ ﺍﻟﻘَﻠْﺐُ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ
ﺍﻟﻨُّﻄْﻖُ ﺑِﻼَ ﺧِﻠَﺎﻑٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak
terdapat perselisihan di antara para
ulama.” [10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
ﻭَﻣَﺤَﻠُّﻬَﺎ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜْﻔِﻲ ﺑِﺎﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ ﻗَﻄْﻌًﺎ ، ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ
ﺍﻟﺘَّﻠَﻔُّﻆُ ﺑِﻬَﺎ ﻗَﻄْﻌًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana
ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.” [11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
ﻭَﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ ﻣَﺤَﻠُّﻬَﺎ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ﺑِﺎﺗِّﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ؛ ﻓَﺈِﻥْ ﻧَﻮَﻯ ﺑِﻘَﻠْﺒِﻪِ
ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻜَﻠَّﻢْ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﺃَﺟْﺰَﺃَﺗْﻪُ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ ﺑِﺎﺗِّﻔَﺎﻗِﻬِﻢْ
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya,
maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” [12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan
pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah
berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika
seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan.
Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya
dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” [13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺠْﻤِﻊِ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻓَﻼَ ﺻِﻴَﺎﻡَ ﻟَﻪُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam
adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah
berkata,
ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻰَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺫَﺍﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ
ﻓَﻘَﺎﻝَ « ﻫَﻞْ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ » . ﻓَﻘُﻠْﻨَﺎ ﻻَ . ﻗَﺎﻝَ « ﻓَﺈِﻧِّﻰ
ﺇِﺫًﺍ ﺻَﺎﺋِﻢٌ » . ﺛُﻢَّ ﺃَﺗَﺎﻧَﺎ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﺁﺧَﺮَ ﻓَﻘُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﺃُﻫْﺪِﻯَ ﻟَﻨَﺎ ﺣَﻴْﺲٌ . ﻓَﻘَﺎﻝَ « ﺃَﺭِﻳﻨِﻴﻪِ ﻓَﻠَﻘَﺪْ ﺃَﺻْﺒَﺤْﺖُ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ » .
ﻓَﺄَﻛَﻞَ .
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?”
Kami menjawab, “Tidak ada.”
Beliau berkata, “Kalau begitu,
saya akan berpuasa.”
Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata,
“Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).”
Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari
tadi pagi tadi aku berpuasa .” [17]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi
mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” [18]
Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya. [19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula
puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya.
Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi,
tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak
dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21]
Niat itu pun harus dikhususkan
(dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya. [22]
Referensi:
[1] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu
keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat
mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3)
Dua tanda yang khusus pada wanita adalah
haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al
Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa
diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak
usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu
sebagaimana mereka diperintahkan untuk
shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan
meninggalkannya –padahal mampu-, maka
hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/ 9916)
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’
shoum.
[5] HR. Muslim no. 335.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907,
dari ‘Umar bin Al Khottob.
[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan
“nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang
makan sahur, pasti ia sudah niat dalam
hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini
sungguh tidak mempersulit umatnya.
[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[13] Idem.
[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu
shubuh.
[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730,
dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini
mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak
menafikan riwayat di atas. Karena riwayat
marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa
diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu
ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun
dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi
oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi
tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar
Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[17] HR. Muslim no. 1154.
[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’,
6/32.
[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/9918.
[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
♥♡Ramadhan In Borneo
1 رمضان 1435 هجرية
29 Juni 2014 M, 07:45 WITA
Sangatta
0 komentar:
Posting Komentar